"Kenapa dia tidak mati saja dulu waktu meloncat ke dalam tong air," rutuk Poltak dalam hati. Mendadak, di hatinya timbul rasa marah dan benci kepada Parandum.
Di puncak bukit Partalinsiran, suaka anak-anak Panatapan, Poltak menumpahkan airmatanya. Airmata kesedihan, kebencian, dan kemarahan karena harus berpisah dari Si Harbangan. Â
Selama ini kerbau jantan itu telah saling-dukung dengan Poltak. Â Di setia membantu Poltak menjaga kerbau-kerbau betina dari incaran para pejantan hidung belang. Dia mambawa Poltak memenangi balap ketbau melawan Bibsa dan Bistok di padang Holbung.
Dari atas bukit, dengan hati patah, Poltak menyaksikan Si Harbangan dituntun pergi oleh Amani Marolop. Kerbau itu menolak ikut, sehingga harus ditarik paksa. Â Seorang teman toke kerbau itu melecut bokong Si Harbangan dengan batahi, agar mau berjalan. Â
"Harbangan!" Poltak berteriak sekeras-kerasnya, marah, tak terima perlakuan kasar pada Si Harbangan. Â
Di bawah tatapan sedih Poltak, Si Harbangan dituntun toke kerbau itu meninggalkan Panatapan ke arah barat. Saat Si Harbangan belok ke jalan besar, lalu hilang dari pandangan, sontak Poltak merasa ada yang hilang dari dirinya. Sesuatu yang sangat berarti.
Terpicu oleh suatu daya yang tak dimengertinya, mendadak Poltak berbalik, berteriak sekuat-kuatnya, lalu berlari ke arah timur. Limapuluh meter di depannya ada sebuah tebing. Di dasar tebing itu air pancuran terlihat kecil. (Bersambung)
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H