Tapi siapakah yang kuasa menghentikan gerak matahari? Â Poltak bukan Nabi Yoshua, pemimpin bani Israel itu. Â Yoshua kuasa berdoa kepada Tuhan, memohon agar matahari berhenti di atas bukit Gibeon dan bulan di atas lembah Ayalon, sampai bangsa Israel tuntas menaklukkan musuhnya.
Karena itu, walau mata Poltak nyaris tak terpejam sepanjang malam, ayam jantan tetap berkokok di subuh hari, dan  matahari tetap terbit di timur saat pagi tiba. Â
Poltak, seperti kemarin-kemarin, tetap harus menjalankan kewajiban paginya. Mengantar dan menambatkan kerbau-kerbaunya ke lembah Holbung. Â Kecuali Si Harbangan, tetap tinggal di dalam kandang, menunggu Amani Marolop.
Sekembali dari Holbung, Poltak menemukan Si Harbangan sudah ditambatkan di depan rumah. Amani Marolop dan kakeknya, juga Ama Riama, duduk berbincang di teras rumah, sambil menikmati kopi hangat. Â
"Ei, Poltak. Â Sini kau, amang," kakeknya memanggil.Â
"Olo,"Poltak mengiyakan, tapi bergeming. Â Dia tak hendak berdekatan dengan Amani Marolop. Â Di matanya, wajah tokke horbo itu tampak seperti muka harimau yang bernafsu memangsa kerbaunya.
Perlahan, Poltak melangkah mendekati Si Harbangan. Â Dia mencekal gelang hidungnya, lalu mengangkat kepala kerbau itu sampai sejajar kepalanya. Â
Mata Si Harbangan terlihat berkaca-kaca. Â Kerbau punya insting lembut. Dia tahu sebentar lagi dirinya akan berpisah dari Poltak, gembala yang dicintai dan mencintainya. Â
Poltak tak kuasa menahan luapan kesedihannya. Matanya berkaca-kaca oleh rembes airmata. Sebelum tangisnya pecah, dia melepas Si Harbangan lalu berlari sekencang-kencangnya mendaki lerebg bukit Partalinsiran.
"Oi, Poltak! Mau kemana kau?" Parandum berteriak bertanya. Â
"Haru isintak porhas i ho!" Poltak mengutuki amangudanya itu, agar disambar petir saja. Dia pikir, kalau bukan karena ambisi Parandum untuk kuliah, Si Harbangan tidak akan dijual.Â