Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #020] Persiapan Kematian Buyut

15 Oktober 2020   17:36 Diperbarui: 19 Oktober 2020   10:14 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain sampul: FT; Foto: erabaru.com

Parandum, amanguda Si Poltak, sukses dengan sandiwara bunuh dirinya. "Amongmu ini setuju kau lanjut ke IKIP. Tapi jangan pernah melakukan lagi  cara itu," kakek Poltak akhirnya setuju. Tapi dia mencela sandiwara Parandum.

Mungkin Parandum yakin sandiwara itu tak akan membunuhnya. Tapi siapa sebenarnya yang bisa menjamin tipuan semacam itu mustahil berujung kematian. Apalagi jika, misalnya, dilakukan pada hari Minggu, saat Tuhan sedang betistirahat.

Kalau itu sampai terjadi, mati, maka Parandum akan mengalami mate ponggol, mati muda sebelum menikah. Jelas itu bukan cita-citanya. Dia tak ingin mati muda sia-sia. Hina.

Kematian itu, bagaimanapun, adalah misteri kepastian. Setiap orang pasti mati. Tapi kapan kematian datang menjemput, bagaimana caranya, tak seorang pun bisa memastikan. Itu misteri ilahi.

Ketimbang memecahkan misterinya, orang Batak lebih memilih menyongsong kematian. Caranya, mempersiapkan diri sebaik mungkin. Agar kematian dapat disambut secara layak, tanpa meninggalkan cela apa pun di dunia. 

Hal itu dilakoni oleh buyut Poltak, orangtua kakeknya.  "Kami, Amongmu dan Inongmu ini, masih sehat. Niat kalian untuk manulangi kami sangat mulia. Tapi belum saatnya." Tampikan ayah-ibunya itu terngiang di telinga kakek Poltak. Tahun lalu, dia dan adik-adiknya menyampaikan niat untuk manulangi kedua orangtuanya itu.  

"Amangoi! Sakit!"  Poltak menjerit pelan, tertahan.  Gigi serinya terasa sakit bukan main. 

Terbawa ke dalam lamunan, kakek Poltak menjadi kurang awas. Sepeda Raleigh yang dikendarainya, berboncengan dengan Poltak dan nenek Poltak, melindas lubang besar  di jalan. Sepeda terguncang hebat. Satu gigi seri atas Poltak yang sedang goyah beradu dengan gigi seri bawah. Rasa sakitnya mengalir ke ubun-ubun.

"Hati-hati.  Gigi Poltak mau copot itu,"  nenek Poltak,  dari boncengan,  mengingatkan suaminya.

Lewat jalan raya Trans-Sumatra, Poltak dan kakek-neneknya sedang berkayuh ke Hutabolon, empat kilometer sebelah utara Panatapan. Buyut Poltak, orangtua kakeknya, tinggal di sana.  Kakek Poltak, anak sulung,  diminta datang ke rumah.

Rumah buyut Poltak berdiri di atas bukit.   Arsitekturnya asli rumah adat Batak. Di gerbang kampung, berdiri tegak hariara raksasa, pohon penanda yang dikeramatkan.  Hariara itu ditanam leluhur buyut Poltak  pada waktu pembukaan kampung.

Kampung itu dikelilingi hutan enau.  Pohon-pohon itu salah satu sumber nafkah buyut Poltak.  Tuak, air nira, dari pepohonan itu disadapnya. Sebagian besar diolah menjadi gula merah.  Sisanya dijual ke lapo, kedai tuak.

"Bah, sudah besar kau, pahompu." Di halaman rumah,  Kakek-buyut Poltak menyambut gembira kedatangan cucu-buyut, anak dan menantunya. "Mari, naik ke rumah."  Nenek-buyut Poltak  menunggu di dalam.

"Kau sudah sekolah, Poltak?"  Nenek-buyut bertanya sambil menambah kayu bakar ke perapian. Dia sedang menggodog air nira untuk dijadikan gula merah.

"Tahun depan baru masuk."  Nenek Poltak yang menjawab.  

Setelah basa-basi sejenak, bicara ini dan itu, kakek dan kakek-buyut Poltak masuk pada pembicaraan serius.  Tentang rencana upacara adat kematian.

"Begini, amang.  Among dan Inongmu ini sudah menghitung hari.  Jadi, sebelum Tuhan memanggil, kami ingin memastikan segala sesuatunya,"  kakek-buyut Poltak membuka pembicaraan.

"Among, apa pun yang baik menurut Among, kami akan lakukan."  Kakek Poltak siap menerima amanat.  

"Kumpulkanlah semua adik-adikmu di rumah ini. Kami berdua,  Amongmu dan Inongmu, sudah setuju dilakukan adat manulangi.  Saat itu kami juga akan membagi warisan. Sekalian memastikan adat sarimatua."

Kakek-buyut Poltak sedang membicarakan adat kematian untuk dirinya dan istrinya.  Dia ingin memastikan tidak ada ritus adat yang terlewatkan. Sebab  kematian hanya datang sekali, sehingga harus disambut sebaik mungkin.

Manulangi, penyulangan makanan oleh anak, menantu,  cucu dan buyut, itu wajib.  Itu pernyataan terimakasih anak kepada orangtuanya, sekaligus permohonan limpahan berkah dari orangtua kepada anaknya. Pembagian warisan adalah salah satu bentuk limpahan berkah.  

Lalu adat sarimatua, kematian dengan semua anak telah menikah dan berketurunan, sudah sepantasnya dilakukan.  Sebab kakek-buyut Poltak sudah gabe, mendapatkan cucu dari semua anaknya.

Diam-diam, Poltak menyimak pembicaraaan antara kakek-buyut dan kakeknya.  Banyak hal tak bisa dipahaminya.  Tapi ada beberapa hal dimengertinya. Salah satunya, bahwa kematian harus disongsong dengan baik melalui persiapan yang matang.

Jenuh dengan pembicaraan para kakek-nenek, juga karena belum terpikir untuk  mati,  Poltak ingin cari angin ke luar rumah.   "Aku ke bawah dulu, Ompung,"  dia permisi.

"Sebentar.  Ini, ambil.  Untuk dimakan di bawah," nenek-buyutnya menyodorkan sesuatu yang berwarna kehitaman. "Ini gula tarik."

Gula tarik itu gula merah gagal.   Gula yang gagal mengkristal karena proses penggodogannya tidak sempurna. Hasilnya justru berupa karamel yang liat. 

Cara makannya, harus digigit sedikit lalu ditarik sampai putus.  Demikian terus-menerus sampai habis.

Di bawah, di halaman, Poltak terpukau pada dua batang,  peti mati, berukuran sangat besar yang diletakkan di kolong rumah. Peti itu dibuat dari batang kayu utuh.  Bentuknya mengambil pola dasar  bangunan rumah adat Batak.  

Itu adalah dua peti mati yang dipersiapkan untuk kakek-buyut dan nenek-buyut Poltak. Mereka berdua sudah siap lahir-bathin menjelang hari kematian, momen masuk ke hidup baru. Peti mati itu adalah simbol rumah baru.

"Amanguda Parandum memang belum boleh mati. Peti matinya belum disiapkan," Poltak membathin. 

Dia bersyukur, malam itu Parandum, amangudanya, tak hendak bunuh diri lagi. Cuma kencing di belakang rumah. Orang memang tidak boleh mati seenak udelnya, tanpa persiapan yang layak.

"Auh! Umh! Uh!" Poltak tiba-tiba berteriak kesakitan.  Dia mendadak tak bisa membuka mulutnya. Karena itu teriakannya tertahan.  

Neneknya buru-buru keluar rumah dan turun ke halaman.  Khawatir cucunya dalam bahaya.  Entah itu dipatuk ular atau digigit kelabang.  Atau sekurangnya mungkin melihat hantu.

"Mmh, mmh."  Poltak memegangi dagunya dengan tangan kiri sambil menunjuk mulutnya dengan tangan kanan.   Neneknya mendekat untuk melihat apa yang terjadi.

"Makanya jangan congok!  Makan gula tarik langsung digigit semua. Lekatlah itu mulutmu. Rasakan!" Nenek Poltak mengomel.  

Rupanya tanpa sadar, karena terpukau pada peti mati, Poltak langsung memasukkan segumpal gula tarik ke dalam mulut dan menggigitnya.  Dampaknya seperti lem kayu dalam mulut.  Gigi atas menempel ke gigi bawah, sehingga rahangnya tak bisa dibuka.

"Auuu!"  Poltak menjerit, meraung, kesakitan saat neneknya menarik gula tarik itu dari mulutnya. Dia merasakan sakit tak terperi pada gusi atasnya.

"Ini, ambil gigimu.  Congok!"  Neneknya menyodorkan gula tarik berhias sebuah gigi seri kepada Poltak. Jengkel hatinya tapi juga bersyukur. Karena gigi cucunya sudah copot.

Kejadiannya memang konyol tapi inspiratif. Rupanya gigi seri Poltak yang sudah goyah menempel pada gula tarik. Gigi itu lalu ikut terbawa saat neneknya menarik karamel sialan tadi dari mulutnya. Ini terbilang serendipitas, temuan tak terduga metode cabut gigi.

"Sana, naik ke rumah.  Ambil air untuk kumur-kumur!" Tidak ada ampun dari nenek Poltak. Jangan kata belaian. "Cepat!"

Poltak buru-buru berlari menaiki tangga. Panik, hilang konsentrasi, kaki kanannya terpeleset di anak tangga.

"Matilah kau!"  Neneknya berteriak. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun