Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #015] Misteri Raibnya Leher Kerbau

5 Oktober 2020   21:04 Diperbarui: 6 Oktober 2020   09:33 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekembali dari lembah Holbung, Poltak, Binsar dan Bistok langsung menyosor ke kebun pisang di belakang rumah Ompu Maruhal. Di situ, di bawah pohon pisang, kelompok parhobas, pelayan upacara adat, sudah sibuk menyiapkan hidangan pesta. Seekor kebau sudah disembelih.  Racikan bumbu saksang, cincang daging campur darah ala Batak, mulai disiapkan. Dandang disiapkan untuk menanak nasi.  

"Poltak, Binsar, Bistok.  Kalian bertiga, bodat!  Ikut saya membersihkan usus kerbau ke pancuran!"  Ama Ringkot berteriak memanggil.

"Amangoi, amang.  Kenapa pula dia lagi."  Poltak langsung merasakan terpaan hawa teror dari mulut Ama Ringkot, pemegang rekor nafas terbau di Panatapan. Binsar dan Bistok juga merasakan teror yang sama.

Membersihkan usus kerbau bersama Ama Ringkot adalah derita tak terperi bagi Poltak, Binsar, dan Bistok.  Persekutuan bau nafas Ama Ringkot dan bau tahi kerbau menghasilkan sejenis senyawa baru superbau.  Bikin kepala pening. Kalau bukan demi sepotong kecil kaki kerbau bakar, taksudilah tiga sekawan itu menahankan derita.  

"Hmm. Sedap kalilah ini."  Poltak bergumam sambil menggerogoti kaki kerbau bakar, upah seusai derita berlalu.  Di sampingnya, duduk tertib di batang pisang tumbang, Binsar dan Bistok sibuk juga mengerkah kaki kerbau bakar yang menjadi bagiannya.  

"Bah. Ama Ringkot sedang apa itu?" Poltak membatin. Matanya tanpa sengaja menangkap gerak senyap Ama Ringkot. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu di pelepah pohon pisang.  

Saat Ama Ringkot berbalik, pandangannya tertumbuk pada Poltak.  Keduanya saling pandang. Ama Ringkot melancarkan pelototan mengancam. Poltak memalingkan wajah. Tak sopan anak kecil baku pelotot dengan orang tua.

"Oi, kemana satu lagi tanggalan ini. Tadi ada tiga lonjor. Sekarang tinggal dua." Ama Luhut, kepala parhobas, berteriak sedikit panik. Satu lonjor tanggalan, irisan melintang leher kerbau yang sudah matang direbus, mendadak raib secara misterius.

"Oi, itu untuk jambar. Tak boleh ada hulahula dan boru yang tak kebagian. Kalau sampai mereka sakit hati, karena tak beroleh jambar, arwah Ompu Maruhal takkan tenang nanti." Ama Luhut mengingatkan. Marah campur cemas.

Itu masalah yang sangat serius. Sepotong kecil jambar yang taksampai pada yang berhak, bisa menjadi batu sandungan dalam perjalanan arwah Ompu Maruhal. Karena itu, tanggalan yang raib itu harus  ditemukan. Hitungan jambar harus pas, tidak boleh kurang.

Poltak mencuri pandang pada Ama Ringkot. Ternyata Ama Ringkot sedang melotot dahsyat ke arahnya.  Sorot sinar matanya seperti kilau mata belati kebiri. Mengirim ancaman serius.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun