Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #015] Misteri Raibnya Leher Kerbau

5 Oktober 2020   21:04 Diperbarui: 6 Oktober 2020   09:33 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain sampul: Felix Tani; Foto: erabaru.com

Sarimatua, kematian setelah semua anak menikah. Itu sumber sukacita bagi orang Batak. Takada lagi sedu-sedan sarat duka. Hanya sukacita yang boleh merebak.  

Sebab hidup mendiang sudah genap.  Dia telah mencapai tiga keutamaan Batak:  hamoraon, kekayaan; hagabeon, banyak keturunan; hasangapon, kemuliaan hidup.    

Hari ini, Minggu, hari penuh sukacita untuk warga Panatapan.  Sabtu kemarin Ompu Maruhal, tetangga kakek Poltak, meninggal dunia.  "Adat sarimatua," kata kakek Poltak menjawab pertanyaan nenek Poltak soal adat kematiannya.  

Sarimatua, kematian yang harus dirayakan.  Adat Dalihan Na Tolu harus dijalankan lengkap. Tiga pilar sosial harus hadir: hulahula, pihak marga pemberi isteri; dongantubu, kakak-adik segaris darah; boru, pihak marga penerima istri.

"Potong kerbau, kalau begitu."  Nenek Poltak menegaskan. Kakek Poltak mengangguk. Adat sarimatua itu upacara besar. Untuk makan bersama, lazimnya disembelih seekor kerbau.

"Oi, Ompu Maruhal sarimatua. Nanti akan disembelih seekor kerbau."  Poltak memberitahu Binsar dan Bistok.  Fajar baru saja menyingsing di Panatapan. Tiga sekawan itu beriring menuntun kerbau-kerbau mereka menuju lembah Holbung.

"Kenapa upah cuci usus kerbau cuma sepotong kecil kakinya."  Bistok menggerutu, protes.  Dia membayangkan tugas membersihkan usus kerbau nanti pasti dibebankan kepada mereka bertiga. Upahnya hanya sepotong kecil kaki kerbau, bagian pergelangan dekat kuku.

"Kau maunya satu kaki utuh? Congok kalilah kau itu!"  Binsar menyindir Bistok congok, rakus.  Bistok menekuk bibirnya, membentuk bulan sabit cemberut.

"Kita kan anak kecil, Bistok. Belum kawin. Belum beradat. Jambar kita, kaki itulah." Poltak mencoba menjelaskan.  Walau pun dia merasakan ketidakadilan juga.  

Belajar dari kakeknya, Poltak tahu serba sedikit tentang aturan jambar, hak atas bagian-bagian tertentu dari tubuh daging babi atau kerbau menurut status adat. Dia adalah  simbol pengakuan dalam masyarakat Batak. Silap jambar,  makian dan piring melayang.

Pembagiannya sederhana.  Kepala belahan kanan untuk suhut, tuan rumah.  Kepala belahan kiri untuk boru.  Rahang bawah untuk hulahula. Leher dipotong-potong kecil untuk hulahula dan boru. Rusuk depan untuk hulahula.  Paha untuk dongantubu dan teman sekampung.  Pinggul belakang untuk suhut.

Sekembali dari lembah Holbung, Poltak, Binsar dan Bistok langsung menyosor ke kebun pisang di belakang rumah Ompu Maruhal. Di situ, di bawah pohon pisang, kelompok parhobas, pelayan upacara adat, sudah sibuk menyiapkan hidangan pesta. Seekor kebau sudah disembelih.  Racikan bumbu saksang, cincang daging campur darah ala Batak, mulai disiapkan. Dandang disiapkan untuk menanak nasi.  

"Poltak, Binsar, Bistok.  Kalian bertiga, bodat!  Ikut saya membersihkan usus kerbau ke pancuran!"  Ama Ringkot berteriak memanggil.

"Amangoi, amang.  Kenapa pula dia lagi."  Poltak langsung merasakan terpaan hawa teror dari mulut Ama Ringkot, pemegang rekor nafas terbau di Panatapan. Binsar dan Bistok juga merasakan teror yang sama.

Membersihkan usus kerbau bersama Ama Ringkot adalah derita tak terperi bagi Poltak, Binsar, dan Bistok.  Persekutuan bau nafas Ama Ringkot dan bau tahi kerbau menghasilkan sejenis senyawa baru superbau.  Bikin kepala pening. Kalau bukan demi sepotong kecil kaki kerbau bakar, taksudilah tiga sekawan itu menahankan derita.  

"Hmm. Sedap kalilah ini."  Poltak bergumam sambil menggerogoti kaki kerbau bakar, upah seusai derita berlalu.  Di sampingnya, duduk tertib di batang pisang tumbang, Binsar dan Bistok sibuk juga mengerkah kaki kerbau bakar yang menjadi bagiannya.  

"Bah. Ama Ringkot sedang apa itu?" Poltak membatin. Matanya tanpa sengaja menangkap gerak senyap Ama Ringkot. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu di pelepah pohon pisang.  

Saat Ama Ringkot berbalik, pandangannya tertumbuk pada Poltak.  Keduanya saling pandang. Ama Ringkot melancarkan pelototan mengancam. Poltak memalingkan wajah. Tak sopan anak kecil baku pelotot dengan orang tua.

"Oi, kemana satu lagi tanggalan ini. Tadi ada tiga lonjor. Sekarang tinggal dua." Ama Luhut, kepala parhobas, berteriak sedikit panik. Satu lonjor tanggalan, irisan melintang leher kerbau yang sudah matang direbus, mendadak raib secara misterius.

"Oi, itu untuk jambar. Tak boleh ada hulahula dan boru yang tak kebagian. Kalau sampai mereka sakit hati, karena tak beroleh jambar, arwah Ompu Maruhal takkan tenang nanti." Ama Luhut mengingatkan. Marah campur cemas.

Itu masalah yang sangat serius. Sepotong kecil jambar yang taksampai pada yang berhak, bisa menjadi batu sandungan dalam perjalanan arwah Ompu Maruhal. Karena itu, tanggalan yang raib itu harus  ditemukan. Hitungan jambar harus pas, tidak boleh kurang.

Poltak mencuri pandang pada Ama Ringkot. Ternyata Ama Ringkot sedang melotot dahsyat ke arahnya.  Sorot sinar matanya seperti kilau mata belati kebiri. Mengirim ancaman serius.  

"Bahaya ini," Poltak membatin. "Bisa ribut kalau Ama Ringkot ketahuan mencuri tanggalan." Poltak yakin benda yang tadi disembunyikan  Ama Ringkot di pohon pisang adalah tanggalan yang raib itu. 

"Tapi bagaimana cara mengambilnya." Poltak berpikir keras. "Ompung, tolong," teriaknya dalam hati.

"Ama Ringkot! Naik ke sini sebentar! Bantu angkat jenazah ke halaman rumah!" Terdengar teriakan kakek Poltak memanggil dari dalam rumah Ompu Maruhal. 

Pertolongan telah tiba. Takada warga Panatapan yang berani membantah perintah kakek Poltak, tetua adat kampung. Tidak juga Ama Ringkot.

"Saatnya jadi pahlawan," desis Poltak. Dia tak hendak menyia-nyiakan kesempatan terbaiknya. 

Hanya sekedip setelah Ama Ringkot naik tangga dan masuk ke dalam rumah, Poltak langsung melompat dan berlari secepat rase ke pohon pisang tempat Ama Ringkot tadi menyembunyikan sesuatu. (Bersambung)
 
 
 
 
   
 
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun