Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #007] Para Pemburu Puyuh Liar

14 September 2020   13:28 Diperbarui: 14 September 2020   21:09 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain sampul: Felix Tani; Foto: Erabaru.com

Tidak ada anak gembala kerbau di Panatapan yang pulang dari padang penggembalaan dengan perut kosong.

Ekosistem padang penggembalaan adalah pabrik makanan alami.  Ada sumber protein hewani: jangkrik, belalang, capung, telur burung, aneka burung liar dan aneka ikan sungai dan rawa.  Juga sumber protein nabati berupa aneka jenis kacang-kacangan liar.  

Tak kurang pula sumber vitamin dan gula berupa buah-buahan liar.  Ada buah keramunting, aneka ara liar, mangga liar, beringin, benalu, senduduk, inggir-inggir (berri liar), ciplukan, lautu (terong siam) dan pirdot.

Semua itu tersedia gratis bagi anak gembala.  Tak terkecuali bagi Poltak, Binsar dan Bistok. Tinggal menerapkan keahlian tradisional sebagai pemburu dan peramu.  

Oh, ya, satu lagi, sumber karbohidrat, singkong dan ubi jalar.   Ini boleh diambil tanpa ijin di kebun warga Panatapan.  Anak gembala punya semacam kekebalan hukum untuk itu.  Boleh ambil untuk kebutuhan sekali makan sendiri.

"Ayo!" Poltak dan Bistok serentak menyambut ajakan Binsar berburu puyuh liar.  Ini salah satu praktek keahlian tradisional untuk memperoleh sumber protein hewani di alam bebas.

Target perburuan adalah jenis puyuh lokal.  Orang Panatapan menyebutnya lote tur, puyuh tur.  Dinamai begitu karena menghasilkan bunyi "tur" saat terbang.

Jenis puyuh liar ini meletakkan sarangnya di atas tanah. Lazimnya di antara rumpun rerumputan yang tak terlalu dalam.  

Jika dikagetkan, misalnya oleh langkah kerbau, maka puyuh ini spontan  terbang kabur. Terbangnya lurus pada ketinggian konstan, satu sampai satu setengah meter di atas tanah, sejauh 50-100 meter. Puyuh tak bisa berbelok di udara karena tak punya ekor untuk kendali arah.

Holbung, padang penggembalaan itu, terkenal sebagai perkampungan puyuh liar. Walau tak pernah disensus, warga Panatapan tahu populasi puyuh paling tinggi di Holbung, di banding padang rumput lainnya.  

"Ayo, atur posisi!"  Binsar memberi perintah.

Segera Poltak, Binsar dan Bistok membentuk formasi segitiga. Titik tengahnya kawanan kerbau. Poltak sekitar 100 meter arah timur laut. Binsar 100 meter arah barat. Bistok 100 meter arah tenggara.  

Dari antara mereka bertiga, Binsarlah yang menjadi penangkap utama. Alasannya, tubuh Binsar paling tinggi dan larinya sangat cepat.  Bistok tak bisa lari cepat karena tapak kaki tampahnya.  Poltak tubuhnya mungil sehingga tak bisa lari cepat menerabas tegakan rumput yang cukup tinggi.

Masing-masing bersiap di posisi. Senjata utama, sarung yang salah satu ujungnya diikat simpul, telah siap di tangan.   

"Siap!"  Poltak berteriak.    

"Siap!" teriak Bistok menyahut.  

"Siap!"  Gong dari Binsar.  

Perburuan puyuh di Holbung telah dimulai.  Poltak, Binsar dan Bistok mulai bergerak menyisir rerumputan. Sambil mereka memutar sarung masing-masing di udara layaknya baling-baling.  

Turrr.  Seekor puyuh terbang dari depan Poltak, lurus ke arah barat daya.

"Binsar! Tangkap!" Poltak berteriak.  

Binsar berlari ke arah timur untuk menutup jalur terbang puyuh itu, sambil memutar-mutar sarungnya di udara.

Plok. Puyuh malang itu jatuh pingsan kena sabetan sarung Binsar. Seekor puyuh kini di tangan.

"Poltak! Tangkap!" Bistok berteriak. Seekor puyuh terbang dari sektornya ke arah utara.

Poltak langsung mengejar dan, "Bruk." Puyuh lepas, Poltak terjerembab mencium tanah. Dia jatuh terpeleset, gara-gara menginjak tahi kerbau yang masih segar beruap.

"Makan itu tahi kerbau!" Binsar dan dan Poltak terbahak.

"Binsar! Tangkap!"

"Bistok! Tangkap!"

"Poltak! Tangkap! Awas tahi kerbau!"

"Binsar! Tangkap!"

"Binsar!"

Poltak, Binsar dan Bistok silih-berganti meneriakkan perintah. Begitulah cara mereka berburu puyuh di alam bebas.

Lebih kerap puyuh-puyuh itu lolos dari sergapan mereka. Keberhasilan menjatuhkan puyuh dari udara sangat ditentukan faktor kecepatan lari dan ketepatan menghitung koordinat.  

Matahari sudah agak tinggi saat perburuan dihentikan.

"Kita dapat berapa ekor?" Poltak bertanya saat mereka sudah duduk mengaso di bawah pohon hariara nahapuloan, tegak sepi sendiri, di pojok barat laut Holbung.

"Aku, dua," lanjut Poltak.

"Aku, empat," Binsar melapor. Tanggapannya banyak. Sebanding dengan kecepatan larinya.

"Aku, satu!" Bistok mengangkat puyuh tangkapanya.  Itu sudah sangat banyak.

Mereka bertiga tergelak puas. Semuanya tujuh ekor puyuh. Hasil perburuan yang lebih dari lumayan.

"Kita bagi rata, ya. Masing-masing dapat dua ekor untuk dibawa pulang. Sisa seekor kita panggang di sini. Kita  makan bersama."  

Binsar mengatur pembagian hasil buruan di antara mereka bertiga. Sama rata, sama rasa.

Siang itu, di bawah pohon hariara,  seekor puyuh telah berubah nama menjadi puyuh panggang. Itulah lauk makan siang Poltak, Binsar dan Bistok. 

Makan siangnya, tiga lonjor singkong bakar, mereka ambil dari kebun Ama Ringkot, di balik bukit Padolok. 

"Ayo, kita bikin perjanjian." Tiba-tiba saja Binsar menawarkan satu ide, beberapa saat seusai mereka makan siang a'la anak gembala.(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun