"Kita dapat berapa ekor?" Poltak bertanya saat mereka sudah duduk mengaso di bawah pohon hariara nahapuloan, tegak sepi sendiri, di pojok barat laut Holbung.
"Aku, dua," lanjut Poltak.
"Aku, empat," Binsar melapor. Tanggapannya banyak. Sebanding dengan kecepatan larinya.
"Aku, satu!" Bistok mengangkat puyuh tangkapanya. Â Itu sudah sangat banyak.
Mereka bertiga tergelak puas. Semuanya tujuh ekor puyuh. Hasil perburuan yang lebih dari lumayan.
"Kita bagi rata, ya. Masing-masing dapat dua ekor untuk dibawa pulang. Sisa seekor kita panggang di sini. Kita  makan bersama." Â
Binsar mengatur pembagian hasil buruan di antara mereka bertiga. Sama rata, sama rasa.
Siang itu, di bawah pohon hariara, Â seekor puyuh telah berubah nama menjadi puyuh panggang. Itulah lauk makan siang Poltak, Binsar dan Bistok.Â
Makan siangnya, tiga lonjor singkong bakar, mereka ambil dari kebun Ama Ringkot, di balik bukit Padolok.Â
"Ayo, kita bikin perjanjian." Tiba-tiba saja Binsar menawarkan satu ide, beberapa saat seusai mereka makan siang a'la anak gembala.(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H