Pertama, HS mengedepankan argumen sesat “karena otoritas” (appeal to authority) saat mengatakan “Saya guru besar …” RG yang khatam soal aneka sesat pikir langsung sinikal menyambar, “Mudah-mudahan isi kepalamu juga besar.”
Masih ditukas HS pula dengan “tikaman” baru pada diri sendiri, “Minimal saya profesor, Anda belum tentu.”
HS gagal mengenal RG, lawan debatnya. RG adalah tipe orang yang mengharamkan kebenaran yang berpijak pada otoritas. Entah itu otoritas yang diklaim melekat pada gelar dan jabatan akademik atau pun pada jabatan publik.
Itu sebabnya RG kerap mengkritik pernyataan Presiden Jokowi. Baginya, pernyataan Jokowi tidak dengan sendirinya benar hanya karena dia mengujarkannya dari posisi sebagai Presiden RI.
RG hanya percaya pada kebenaran yang dihasilkan melalui penerapan kaidah-kaidah logika. Ketika dia menyindir, “Mudah-mudahkan isi kepalamu juga besar”, dia sebenarnya sedang mempertanyakan kapasitas HS dalam berpikir logis.
Mengapa layak dipertanyakan? Sebab apabila seseorang mengalasi argumennya dengan ujaran “Saya guru besar …”, maka saat itu dia telah sesat pikir. Kapasitasnya dalam berpikir logis adalah nol. Dengan kata lain, “bunuh diri” di depan seorang pakar logika.
Kedua, HS pada kesempatan pertama juga telah melontarkan argumen “manusia jerami” (strawman argument) atau “orang-orangan sawah” dengan mengungkap fakta dia pernah memanfaatkan jasa ustad terkenal tanpa membayar sepeser pun.
Jika RG tersenyum sinis mendengar ujaran HS, maka itu karena dia tahu argumen “manusia jerami” itu tergolong sesat pikir. Di situ HS telah menciptakan isu (manusia jerami) sendiri (ustad tak dibayar), mengupasnya tuntas (menghajar manusia jerami bikinan sendiri), lalu keluar dengan kesimpulan “Kamu salah dan kalah RG.”
Apanya yang salah dan kalah? RG di awal debat tidak lagi mempersoalkan jumlah dana yang dibelanjakan pemerintah untuk membayar influencer. RG justru melontarkan isu substantif bahwa komunikasi politik pemerintah tidak efektif maka perlu menggunakan jasa influencer.
Argumen HS tentang “ustad tidak dibayar” jelas tidak ada relevansinya dengan argumen “komunikasi politik pemerintah tidak efektif maka perlu menggunakan jasa influencer”.
Seharusnya, sesuai bidang keahliannya, untuk mematahkan argumen RG maka HS cukup membuktikan bahwa “komunikasi politik pemerintah efektif”. Bukan mengatakan “saya guru besar” dan “saya pakai jasa ustad tanpa bayar”. Itu namanya sesat logika atau “bunuh diri” pada tataran pemikiran.