Di sana sekawanan kerbau anak-anak Kampung Toruan sedang  merumput dengan lahapnya.  Di bawah penggembalaan empat orang anak usia sepantaran mereka.
"Itu, kan padang penggembalaan kita. Â Berani-beraninya mereka menjajah." Â Binsar geram. Suaranya bergetar gusar.
Lembah hijau itu tak terlalu luas. Â Tidak cukup untuk puluhan ekor kerbau merumput. Â
"Kerbau mereka semuanya duabelas ekor. Â Kerbau kita, berapa ini. Â Poltak tujuh, Binsar lima, aku empat. Ya, kita punya enambelas ekor." Â Bistok menghitung.
"Dengan kerbau mereka, semuanya duapuluh delapan ekor. Â Terlalu banyak," timpal Binsar.
Poltak diam menyimak. Â Dia belum bisa berhitung secepat Binsar dan Bistok. Â Maklum, belum makan bangku sekolah.
"Ayo, kita usir mereka!" Â Binsar memberi komando sambil melecut kerbau tunggangannya menuruni lereng bukit menuju lembah.
Poltak, Bistok dan kerbau-kerbau mereka mengikuti dari belakang.
"Oi, ini padang penggembalaan Panatapan. Â Pergi kalian dari sini!" Â Binsar berteriak kepada anak-anak Kampung Toruan.
"Bah! Â Ini bukan tanah ompungmu. Â Apa hakmu mengusir kami!" Â Tongam, salah seorang anak Toruan yang badannya paling besar, menolak pergi.
"Memang bukan tanah ompung kami. Â Bukan tanah ompungmu juga. Tapi dari dulu ini sudah menjadi padang penggembalaan kami. Â Kalian penjajah! Pergi kalian dari sini!" Â Binsar tidak mau kalah.