Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #005] Sengketa Padang Penggembalaan

9 September 2020   16:30 Diperbarui: 10 September 2020   18:38 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain sampul: Felix Tani; Foto: Erabaru.com

 


 "Poltak!  Bistok!  Lihat itu!  Kerbau-kerbau anak-anak Kampung Toruan merumput di padang penggembalaan kita!"

Binsar berteriak ke arah Poltak dan Bistok. Duduk di pungggung kerbaunya, dia mendadak berhenti di ujung punggung bukit Nadolok. 

Sepelemparan batu di belakangnya, Poltak dan Bistok bergerak mendekat, menunggang kerbau masing-masing.

Hari itu tanggal merah.  Hari Libur Nasional. Sekolah diliburkan. Binsar dan Bistok, teman sepermainan Poltak, punya waktu luang menggembalakan kerbau di padang rumput.  

Poltak sendiri tak perlu ditanya lagi. Karena belum bersekolah, sehari-hari memang bertugas menggembalakan kerbau kakeknya.  

Matahari pagi sudah menyembul dari balik Gunung Simanukmanuk di timur Panatapan.  

Menunggang kerbau "pimpinan", berangkat dari kampung tadi,  Binsar, Poltak dan Bistok  beriringan memandu kawanan kerbau mereka ke padang rumput.

"Cepat. Lihat itu!" Binsar tak sabaran.

Beberapa menit berselang, Poltak dan Bistok menyusul Binsar di ujung punggung bukit Nadolok.  

Duduk di punggung kerbau masing-masing, mereka memandang ke arah lembah hijau di bawah bukit. Lembah yang membentang di sebelah timur bukit itu dikebal dengan nama Holbung.

Di sana sekawanan kerbau anak-anak Kampung Toruan sedang  merumput dengan lahapnya.   Di bawah penggembalaan empat orang anak usia sepantaran mereka.

"Itu, kan padang penggembalaan kita.  Berani-beraninya mereka menjajah."  Binsar geram. Suaranya bergetar gusar.

Lembah hijau itu tak terlalu luas.  Tidak cukup untuk puluhan ekor kerbau merumput.  

"Kerbau mereka semuanya duabelas ekor.  Kerbau kita, berapa ini.  Poltak tujuh, Binsar lima, aku empat. Ya, kita punya enambelas ekor."  Bistok menghitung.

"Dengan kerbau mereka, semuanya duapuluh delapan ekor.  Terlalu banyak," timpal Binsar.

Poltak diam menyimak.  Dia belum bisa berhitung secepat Binsar dan Bistok.  Maklum, belum makan bangku sekolah.

"Ayo, kita usir mereka!"  Binsar memberi komando sambil melecut kerbau tunggangannya menuruni lereng bukit menuju lembah.

Poltak, Bistok dan kerbau-kerbau mereka mengikuti dari belakang.

"Oi, ini padang penggembalaan Panatapan.  Pergi kalian dari sini!"  Binsar berteriak kepada anak-anak Kampung Toruan.

"Bah!  Ini bukan tanah ompungmu.  Apa hakmu mengusir kami!"  Tongam, salah seorang anak Toruan yang badannya paling besar, menolak pergi.

"Memang bukan tanah ompung kami.  Bukan tanah ompungmu juga. Tapi dari dulu ini sudah menjadi padang penggembalaan kami.  Kalian penjajah! Pergi kalian dari sini!"  Binsar tidak mau kalah.

Benar. Tanah Holbung itu memang bukan milik warga Toruan atau pun Panatapan. Itu adalah tanah milik Tuan Willem, seorang tuan kebun  yang sudah lama meninggal dunia. Ahli warisnya, tinggal di Siantar, tak pernah mengurus tanah itu.

Argumen Binsar ada dasar hukum adatnya.  Siapa yang lebih dulu memanfaatkan tanah Holbung itu, maka hak pakai utama ada padanya. Warga Panatapanlah yang pertama memanfaatkannya sebagai padangcpenggembalaan.

Di tengah tarik urat lehercitu, Poltak rupanya mulai kerepotan.  Si Harbangan, kerbau jantan miliknya sudah berontak mau menyerang kerbau jantan milik anak-anak Kampung Toruan.  

Dia mencekal sekuat tenaga giwang hidung kerbaunya, agar tidak lepas lalu beradu tanduk. Bisa gawat, kalau sampai kejadian.

Bistok juga tak kurang hebohnya.  Dia sibuk mengusir seekor kerbau jantan milik anak-anak Toruan.  

Pejantan itu rupanya sedang kasmaran lalu mulai mengendus-endus kerbau betina milik Bistok. Bah, kurang ajar.  Haram hukumnya kerbau betina Panatapan dihamili kerbau jantan Toruan.  

"Kalian maunya apa!  Berkelahi?  Ayo!"  Tongam menantang. Tiga orang temannya berdiri dengan sikap mendukung di belakangnya.

"Bah! Jangan berkelahi. Nanti kalau Pak Porhanger tahu, bahaya.  Kita bisa dihukum di Sekolah Minggu."  Poltak menengahi.  

Anak-anak Panatapan dan anak-anak Toruan itu satu kelas Sekolah Minggu di Gereja Katolik Aeknatio. Orang yang disebut Pak Porhanger itu adalah Ama Rumiris, voorhanger, penatua gereja, guru Sekolah Minggu.

Tongam surut.  Binsar juga.  Pikir mereka, benar juga kata Si Poltak.  Urusan perkelahian anak-anak menang bisa runyam kalau beritanya sampai ke kuping Pak Voorhanger.  Hukuman bersih gereja, dengan bonus nasihat panjang, pasti dijatuhkan.

Kejadian perkelahian pastilah sampai ke kuping Pak Voorhanger.  Karena, tidak seperti orang dewasa, anak kecil sulit menjaga rahasia.

Lagi pula, urusan anak-anak biarlah diselesaikan anak-anak sendiri.  Tak perlu sampai ke orang tua. Sebab orang tua mereka lebih suka menyelesaikan masalah anak-anak dengan batahi, cambuk rotan untuk kerbau.

"Jadi? Bagaimana?"  Tongam bertanya tidak sabaran.

Poltak saling-pandang dengan Binsar dan Bistok. Kedua temannya itu menggeleng. Tanda hampa ide.

Berarti  Poltak sendiri yang harus menemukan cara penyelesaian. Jidatnya yang lebar mulai berkerut-merut, tandanya dia sedang berpikir keras. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun