Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #003] Calon Insinyur Kebun

7 September 2020   07:50 Diperbarui: 7 September 2020   09:00 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayo, Poltak. Pegang tangan nenekmu itu. Jangan sampai tersandung dia."  

Kakek Poltak mengajak dan menyuruh dengan senyum yang tak lekang-lekang dari tadi sore.
Kelahiran anak Si Halung membuat kakek Poltak bahagia tak alang kepalang. 

Senyumnya mengembang terus layaknya senyum Joker. Berani taruhan, dulu waktu pesta adat pernikahan dengan nenek Poltak, senyumnya pastilah tidak sedahsyat itu.

Malam telah mulai memeluk Panatapan. Tapi tanah kampung tampak terang. Sebab purnama telah poltak, terbit menyinari bumi.

Poltak bersama kakek dan neneknya menyusuri jalan setapak menuju rumah Ama Lamhot, tetangga di seberang kebun. Ini hari ketujuh maranggap, melek-melekan, di rumah Ama Lamhot. Anaknya yang kelima, perempuan, lahir sehat tujuh hari lalu.  

Menurut tradisi Batak, ibu dan bayi yang baru lahir harus dianggapi, dijaga, selama tujuh hari, karena jiwa mereka masih lemah. 

Khawatir kalau-kalau ada begu, hantu, pencabut nyawa lewat lalu iseng mengambil jiwa bayi atau ibunya untuk koleksi.

Senyum Poltak juga mengembang seperti kakeknya. Sumber bahagianya serupa.

"Sekarang kerbaumu sudah dua paha, Poltak. Sepaha dari anak Si Tingko, sepaha lagi dari anak Si Halung." 

Begitu sabda Kakek Poltak tadi sore, begitu melihat Si Halung pulang membawa seekor anak.

Dua paha. Artinya Poltak kini punya setengah ekor kerbau.

Adatnya memang begitu. Bagi cucu yang ditugasi menggembalakan kerbau betina, kakeknya akan menghadiahkan sahae, sepaha atau seperempat bagian dari anak yang dilahirkan.  

Lazimnya sambola hae, setengah paha, atau seperdelapan bagian. Tapi Poltak itu cucu hasian, kesayangan kakek dan neneknya. Cucu pertama, laki-laki, dari anak laki pertama. Karena itu kakeknya memberi lebih.

"Bah, Poltak. Oi, sudah datang jagoan kita," sambut Ama Lamhot begitu Poltak bersama kakek dan neneknya menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah.

Para paranggap, dewasa dan anak-anak, sudah ramai di dalam rumah. Semua mata tertuju kepada Poltak.

Begitulah. Kabar sedemikian cepatnya beredar di Panatapan. Bahkan sampai pula ke kampung tetangga. Komplit dengan segala distorsinya.

"Hebat kalilah Si Poltak ini.  Kudengar anak kerbaunya sungsang, ya," Ama Ringkot angkat bicara.

"Bah, payah itu," sambar Nai Lumongga.

"Iya. Itulah. Si Poltak ini bisa mengurut perut kerbaunya. Posisi janin bisa diputarnya. Maka anak kerbaunya lahir normal," lanjut Ama Ringkot.

"Bah! Hebat sekali. Pasti Si Poltak itu mewarisi keahlian neneknya menjadi dukun beranak," sela Nai Basaria yakin seratus persen.

Nenek Poltak, dari pihak ibu, memang terkenal sebagai dukun urut sekaligus dukun beranak. Konon keahliannya itu didapatkan lewat jalur mimpi. Suatu malam dia tidur, lalu mimpi diberi ilmu oleh seorang nenek tak dikenal. Besok paginya, begitu bangun, sudah jadi dukun urut.  

Poltak diam saja mendengar semua ocehan omong kosong itu. Sambil cuping hidungnya merah mekar, tanda senang dan bangga menjadi subyek gosip.  

Tak sopan pula anak kecil menyela untuk mengoreksi bualan orang tua. Nanti mereka bisa tersingung dan marah. Ketimbang membual, menyinggung perasaan orang tua itu dosanya lebih besar. Jadi, biarkan saja para orang tua itu syur dengan segala bualnya.

Tambahan lagi,  anak-anak lain, terutama Binsar dan Bistok, terus-menerus menatap Poltak dengan sorot mata iri.  Kedua anak ini, setahun di atas Poltak, tidak bisa terima kenyataan Poltak menjadi bintang di malam itu.

"Kurasa, cocoklah Si Poltak itu masuk sekolah bidan nanti," saran Ama Lamhot.

"Mana ada bidan laki-laki. Semua bidan perempuan," sambar Nai Lumongga sambil tertawa dengan nada mengejek.

"Bah, adalah. Pernah kulihat di Rumah Sakit Umum Siantar." Ama Lamhot menyampaikan bukti.  Dia tak sepenuhnya keliru. Cuma gagal membedakan bidan dan ginekolog.

"Alah, sok tahulah kau," balas Nai Lumongga tak percaya.  Lalu mengalihkan isu, "Eh, kau tambahlah kayu bakar di perapian itu. Kasihan itu Nai Lamhot. Kedinginan dia."  

Sambil terkekeh, Ama Lamhot menambahkan kayu bakar ke perapian. 

Itulah bedanya manusia lelaki dan kerbau jantan. Tanggung jawab pada isteri dan anak. 

Bukan macam Si Harbangan. Sadar pun tidak dia sudah bikin hamil Si Halung.  Jangan kata peduli anaknya lahir. Sampai-sampai, bayi Si Halung itu harus berdiri sendiri mencari susu ibunya.  

Udara malam di Panatapan, di punuk bukit Barisan, memang sangat dingin. Ibu yang baru melahirkan harus berdiang. Juga diberi makanan nanidugu, sup ayam dengan daun bangun-bangun. Ditambah minum tuak natonggi, air nira manis untuk menambah tenaga.

"Harapanku, kelak Si Poltak itu jadi insiniur kebunlah.  Agar jadi kepala perkebunan di Sumatra Timur sana. Gajinya besar," kakek Poltak menyampaikan harapannya. 

Suara kakek Poltak menyeruak kepulan asap rokok dan meredam suara bantingan kartu remi ke atas tikar. Permainan kartu Joker Karo sudah dimulai.

"Bah, bagus kali itu. Biar Si Poltak jadi insiniur pertama dari kampung kita ini," balas  Ama Ringkot. "Pas!" Teriaknya, tanda dia memilih untuk tak menurunkan kartunya.  

Begitulah suasana maranggap. Kaum lelaki dewasa sibuk dengan joker karo, rokok, kopi dan obrolan tentang sawah, ternak, adat sampai politik. 

Para perempuan dewasa dan gadis sibuk dengan dapur, ibu yang baru melahirkan dan bayinya, serta gosip-gosip terbaru di pancuran, pasar, dan gereja.

Anak-anak kecil membentuk klaster sendiri di pojokan.  Main tebak-tebakan atau main gaple dengan taruhan pecundang memijat pemenang. Kadang sambil bergaya merokok lisong kosong, yang rasanya macam menyedot asap bakaran jerami di sawah.

Ini malam ketujuh, malam terakhir maranggap. Malam spesial karena akan ada suguhan ekstra. Lampet, kue putu terbuat dari tepung beras dengan isi gula enau dibungkus daun pisang, akan disajikan pas tengah malam.  

Karena itu semua berjuang melek sampai pukul 12 malam. Takut tidak kebagian lampet.

"Jadi, kau calon insiniur kebun, ya Poltak," Bistok minta penegasan dari Poltak. Ada nada iri dalam suaranya.

"Mana bisalah. Sekolah saja, belum." Binsar menyambung.  Terdengar sedikit sewot.

Binsar dan Bistok memang sudah sekolah, kelas satu Sekolah Dasar di Desa Parbolon, sekitar 4 km di sebelah utara Panatapan.

"Mana kutahu! Kau tanya saja kakekku, sana," sentak Poltak.  

Poltak tidak perduli mau jadi apa dia kelak.  Mau jadi insiniur kebun, bidan, pelukis atau dukun urut, tak dipikirkannya.

Satu-satunya yang dipikirkan Poltak sekarang adalah lampet dan kopi panas yang belum kunjung datang juga. Sebab kekuatan matanya tinggal 5 watt.(Bersambung)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun