Suara kakek Poltak menyeruak kepulan asap rokok dan meredam suara bantingan kartu remi ke atas tikar. Permainan kartu Joker Karo sudah dimulai.
"Bah, bagus kali itu. Biar Si Poltak jadi insiniur pertama dari kampung kita ini," balas  Ama Ringkot. "Pas!" Teriaknya, tanda dia memilih untuk tak menurunkan kartunya. Â
Begitulah suasana maranggap. Kaum lelaki dewasa sibuk dengan joker karo, rokok, kopi dan obrolan tentang sawah, ternak, adat sampai politik.Â
Para perempuan dewasa dan gadis sibuk dengan dapur, ibu yang baru melahirkan dan bayinya, serta gosip-gosip terbaru di pancuran, pasar, dan gereja.
Anak-anak kecil membentuk klaster sendiri di pojokan. Â Main tebak-tebakan atau main gaple dengan taruhan pecundang memijat pemenang. Kadang sambil bergaya merokok lisong kosong, yang rasanya macam menyedot asap bakaran jerami di sawah.
Ini malam ketujuh, malam terakhir maranggap. Malam spesial karena akan ada suguhan ekstra. Lampet, kue putu terbuat dari tepung beras dengan isi gula enau dibungkus daun pisang, akan disajikan pas tengah malam. Â
Karena itu semua berjuang melek sampai pukul 12 malam. Takut tidak kebagian lampet.
"Jadi, kau calon insiniur kebun, ya Poltak," Bistok minta penegasan dari Poltak. Ada nada iri dalam suaranya.
"Mana bisalah. Sekolah saja, belum." Binsar menyambung. Â Terdengar sedikit sewot.
Binsar dan Bistok memang sudah sekolah, kelas satu Sekolah Dasar di Desa Parbolon, sekitar 4 km di sebelah utara Panatapan.
"Mana kutahu! Kau tanya saja kakekku, sana," sentak Poltak. Â