"Ayo, Poltak. Pegang tangan nenekmu itu. Jangan sampai tersandung dia." Â
Kakek Poltak mengajak dan menyuruh dengan senyum yang tak lekang-lekang dari tadi sore.
Kelahiran anak Si Halung membuat kakek Poltak bahagia tak alang kepalang.Â
Senyumnya mengembang terus layaknya senyum Joker. Berani taruhan, dulu waktu pesta adat pernikahan dengan nenek Poltak, senyumnya pastilah tidak sedahsyat itu.
Malam telah mulai memeluk Panatapan. Tapi tanah kampung tampak terang. Sebab purnama telah poltak, terbit menyinari bumi.
Poltak bersama kakek dan neneknya menyusuri jalan setapak menuju rumah Ama Lamhot, tetangga di seberang kebun. Ini hari ketujuh maranggap, melek-melekan, di rumah Ama Lamhot. Anaknya yang kelima, perempuan, lahir sehat tujuh hari lalu. Â
Menurut tradisi Batak, ibu dan bayi yang baru lahir harus dianggapi, dijaga, selama tujuh hari, karena jiwa mereka masih lemah.Â
Khawatir kalau-kalau ada begu, hantu, pencabut nyawa lewat lalu iseng mengambil jiwa bayi atau ibunya untuk koleksi.
Senyum Poltak juga mengembang seperti kakeknya. Sumber bahagianya serupa.
"Sekarang kerbaumu sudah dua paha, Poltak. Sepaha dari anak Si Tingko, sepaha lagi dari anak Si Halung."Â
Begitu sabda Kakek Poltak tadi sore, begitu melihat Si Halung pulang membawa seekor anak.
Dua paha. Artinya Poltak kini punya setengah ekor kerbau.