Â
"Boa ...!" Â Poltak berteriak dari bibir tebing, di gigir timur Kampung Panatapan.Â
Di bawah sana, di ceruk lembah kecil, ada pancuran kampung. Satu-satunya sumber air bersih untuk seluruh warga Panatapan.
Panatapan itu hanyalah kampung kecil. Penghuninya hanya tujuh rumahtangga. Termasuk rumahtangga kakek-nenek Poltak. Â
Pancuran itu sumber air yang tiada habisnya untuk Panatapan. Untuk keperluan mandi, cuci, minum dan pengairan sawah di hilirnya.
"Boa ...! Â Sekali lagi Poltak kecil berteriak. Sore hari adalah waktu perempuan mandi, cuci dan mengambil air minum di pancuran. Â
Laki-laki yang hendak lewat pancuran harus meneriakkan kata "boa". Artinya, harafiah, Â "pemberitahuan".
Hal sebaliknya juga begitu. Kalau kebetulan ada laki-laki mandi, lalu ada perempuan mau lewat, atau hendak ke pancuran, dia harus meneriakkan "boa" juga.
Itu etika. Jangan sampai kejadian perempuan mandi telanjang di pancuran, tiba-tiba laki-laki datang atau lewat tanpa ijin. Tak beradat namanya itu.
"Boa!" teriakan balasan para perempuan terdengar dari pancuran. Artinya, mereka sudah siap, menutup barang-barang yang perlu ditutupi. Laki-laki boleh lewat.
Kerbau-kerbau Poltak ditambatkan di padang penggembalaan di sebelah timur kampung. Dia harus melewati lembah pancuran itu dan dua bukit lagi untuk tiba di sana. Â
Sebenarnya ini soal etika saja. Toh, usia Poltak baru lima tahun. Â Burungnya masih lugu. Kalem walau melihat barang-barang yang bisa bikin burung lelaki dewasa berontak.
"Mau ke mana kau, Poltak!" Â Namboru Risma, masih terhitung tante untuk Poltak, bertanya di tengah kesibukannya mencuci pakaian.
"Jemput kerbau!" Poltak menjawab pendek, sambil berlari.
Berlari menaiki bukit, lalu turun ke lembah. Naik ke bukit lagi, lalu menyusuri saluran irigasi kampung ke hulu. Sampai akhirnya Poltak tiba di dataran penggembalaan.
Ditambatkan di padang rumput, kerbau-kerbaunya telah menanti kedatangan Poltak di situ.
"Si Halung! Â Ke mana Si Halung! Â Hilang!" Poltak berteriak histeris. Â
Si Halung, salah satu dari kerbaunya, hilang. Lepas dari tambatannya. Â
Kerbau Poltak, tepatnya milik kakeknya, semua ada enam ekor. Â Tiga ekor betina, diberi nama menurut penanda khasnya, bentuk tanduk. Â Si Halung, sepasang tanduknya menekuk ke bawah seperti kalung. Â Si Tingko, tanduknya lurus tajam ke atas. Â Si Ranga, tanduknya membentang kokoh. Â
Lalu ada seekor kerbau jantan, Si Harbangan, sepasang tanduknya besar, kokoh tegak seperti tiang gerbang. Â Â
Dua lainnya adalah kerbau betina kecil. Anak Si Tingko dan anak Si Ranga. Â Anak Si Ranga dinamai Si Baruang, karena kulitnya kemerah-merahan dan memiliki belang warna putih melintang di bagian lehernya.
Si Ranga adalah kerbau paling senior. Â Dia menjadi pimpinan kumpulan secara primus interpares. Semua kerbau lainnya patuh padanya. Â
Setiap berangkat ke padang penggembalaan, atau pulang ke kandang, Poltak tinggal duduk di punggungnya. Semua kerbau yang lain pasti ikut di belakangnya.
"Ke mana kau, Halung!" Â Tangis Poltak nyaris pecah.Â
Ada sesal di hatinya. Kenapa tadi terlalu asyik melukis di pasir halaman. Sekarang kerbaunya benar-benar hilang. Â
Si Halung itu sedang hamil tua. Â Kehilangan Si Halung berarti kehilangan dua ekor kerbau sekaligus. Kalau sampai benar-benar hilang, bisa-bisa Poltak digantung kakeknya di pohon petai.
"Uee ..., uee ..., uee ...," Poltak melenguh menirukan lenguh kerbau dengan suara hidung sengau. Dia memanggil-manggil Si Halung.
Setiap kerbau kenal suara gembalanya, setiap gembala kenal suara kerbaunya.
"Uee....," tiba-tiba terdengar lenguh balasan dari dalam rerimbunan perdu. Â
Itu suara Si Halung. Poltak langsung berlari menerobos masuk ke rerimbunan perdu.
"Baaaah...!" Poltak berteriak gembira di dalam rerimbunan perdu.Â
"Si Halung mau beranak! Beranak!" teriaknya pada diri sendiri. Â Juga ditujukan kepada kerbau-kerbau yang lain.
Memang sudah begitu tabiatnya. Kerbau betina yang mau melahirkan selalu mencari tempat teduh. Rerimbunan perdu adalah tempat ideal. Â
Jika sedang ditambatkan, maka kerbau itu akan menggulung tali penambat di tanduknya, lalu menariknya sekuat tenaga hingga  talutuk, pasak tambatan, tercabut.  Tidak ada yang bisa menahan kerbau hamil tua.
"Ayo, Halung! Ayo! Odon! Odon terus!" Â Poltak teriak-teriak menyemangati Si Halung untuk mangodon, mengedan, sekuat-kuatnya. Supaya anaknya lahir. Â
"Ayo! Ayo, Halung!" Â Poltak menepuk-nepuk tengkuk Si Halung. Â
Dia benar-benar berperan layaknya seorang dukun beranak untuk kerbaunya. Ya, dukun beranak spesialis kerbau.
"Bruk!" Â Bunyi benda jatuh terdengar dari arah pantat Si Halung. Â
"Lahir! Si Halung beranak!" Poltak berteriak girang. Seekor bayi kerbau jatuh ke tanah. Lahir. Begitulah caranya. Â
Si Halung langsung menjilati anaknya yang baru lahir itu. Â Seekor jantan.Â
Anak kerbau itu merengek, lalu mulai berusaha berdiri.
Pertama-tama limbung. Tak lama kemudian bisa tegak. Â Lalu mulai melangkah. Â Mencari puting susu Si Halung, induknya. Â Menyedot susu pertama. Â
Takjub. Â Poltak menyaksikan seluruh proses kelahiran anak Si Halung dengan rasa takjub luar biasa. Â
Sebenarnya, bukan pengalaman pertama baginya. Tapi tetap saja dia takjub.
"Hebat kalilah anak kerbau ini," pikirnya. Â "Begitu lahir langsung bisa berdiri dan berjalan. Â Tidak macam anak manusia." Â
"Ah, kakek dan nenekku pasti gembira. Â Dapat tambahan seekor kerbau lagi." Â Poltak membathin.
Sudah terbayang di benaknya, akan bagaimana sambutan kakek dan neneknya nanti. (Bersambung)
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI