Sebenarnya ini soal etika saja. Toh, usia Poltak baru lima tahun. Â Burungnya masih lugu. Kalem walau melihat barang-barang yang bisa bikin burung lelaki dewasa berontak.
"Mau ke mana kau, Poltak!" Â Namboru Risma, masih terhitung tante untuk Poltak, bertanya di tengah kesibukannya mencuci pakaian.
"Jemput kerbau!" Poltak menjawab pendek, sambil berlari.
Berlari menaiki bukit, lalu turun ke lembah. Naik ke bukit lagi, lalu menyusuri saluran irigasi kampung ke hulu. Sampai akhirnya Poltak tiba di dataran penggembalaan.
Ditambatkan di padang rumput, kerbau-kerbaunya telah menanti kedatangan Poltak di situ.
"Si Halung! Â Ke mana Si Halung! Â Hilang!" Poltak berteriak histeris. Â
Si Halung, salah satu dari kerbaunya, hilang. Lepas dari tambatannya. Â
Kerbau Poltak, tepatnya milik kakeknya, semua ada enam ekor. Â Tiga ekor betina, diberi nama menurut penanda khasnya, bentuk tanduk. Â Si Halung, sepasang tanduknya menekuk ke bawah seperti kalung. Â Si Tingko, tanduknya lurus tajam ke atas. Â Si Ranga, tanduknya membentang kokoh. Â
Lalu ada seekor kerbau jantan, Si Harbangan, sepasang tanduknya besar, kokoh tegak seperti tiang gerbang. Â Â
Dua lainnya adalah kerbau betina kecil. Anak Si Tingko dan anak Si Ranga. Â Anak Si Ranga dinamai Si Baruang, karena kulitnya kemerah-merahan dan memiliki belang warna putih melintang di bagian lehernya.
Si Ranga adalah kerbau paling senior. Â Dia menjadi pimpinan kumpulan secara primus interpares. Semua kerbau lainnya patuh padanya. Â