Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemiskinan Sosial, Pandemi Covid-19 dan Risiko "Hilang Generasi" di Indonesia

30 Agustus 2020   15:16 Diperbarui: 1 September 2020   07:26 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi kerumunan di pasar semasa pandemi Covid-19 (Foto: bisnis.com/antara)

Silahkan lihat data terbaru (30/8/2020) Pandemi Covid-19 Indonesia.  Fokuslah pada lima provinsi "merah" dengan tingkat pandemi terparah: DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat.

Angka pandemi yang semakin besar dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, di lima provinsi itu adalah penanda gejala Pandemi Covid-19 berkelanjutan di Indonesia. Harapan akan berakhirnya pandemi dalam waktu dekat, semakin samar saja.

Banyak faktor yang bisa dituding sebagai biang kerok berlarut-larutnya pandemi Covid-19 ini. Salah satunya faktor kemiskinan sosial yang rupanya kurang disadari. Karena pemerintah dan rakyat selama ini hanya tahu soal kemiskinan ekonomi.

Tesis saya begini. Pandemi Covid-19 meningkatkan kemiskinan ekonomi, sementara kemiskinan sosial meningkatkan pandemi Covid-19. 

Karena upaya pemerintah difokuskan pada penanggulangan kemiskinan ekonomi, sedangkan kemiskinan sosial diabaikan, maka pandemi Covid-19 semakin parah.

***
Tentang korelasi pandemi Covid-19 dan tingkat kemiskinan ekonomi sudah kerap diutarakan pemerintah dan ekonom. 

Lembaga The SMERU Research Institute (2020) misalnya bikin skenario begini. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok ke angka 1.0% tahun 2020, maka angka kemiskiban akan melonjak ke 12.4% (dari 9.2% tahun 2019). 

Menkeu Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional tahunc2020 akan turun dari target 5.3% menjadi 2.3%. Pada angka itu maka, merujuk skenario The SMERU, penduduk miskin diperkirakan naik menjadi sekitar 11.0%.

Intinya pandemi menyebabkan anjloknya pertumbuhan ekonomi, sehingga tingkat kemiskinan di Indonesia akan meningkat dari satu menjadi dua digit.  

Langkah pemerintah menerapkan kebijakan "normal baru" di satu sisi dimaksudkan untuk menahan agar  ekonomi tidak terlalu dalam anjlok. Sekaligus, di sisi lainnya, untuk menahan agar angka kemiskinan tak membubung terlalu tinggi.

Senyampang pemerintah fokus pada pengendalian dampak ekonomi pandemi Covid-19, khususnya kemiskinan ekonomi, ada kecenderungan mengabaikan masalah kemiskinan sosial. Padahal dia merupakan faktor utama percepatan dan pelanjuran pandemi Covid-19.

Akibatnya pemerintah akan tampak bagai Sisifus. Mendorong (lagi dan lagi) batu ke puncak untuk kemudian jatuh terguling ( lagi dan lagi) ke bawah. 

Kemiskinan ekonomi dikendalikan serendah mungkin dengan ragam cara, tapi kemiskinan sosial diabaikan. Akibatnya pandemi tetap meluas berkepanjangan, sehingga tingkat kemiskinan ekonomi tinggi lagi (dan lagi).

Konsep kemiskinan sosial metujuk pada konsep solidaritas sosial Emile Durkheim. Salah satu indikator utamanya adalah apa yang disebut Sarah Halpern-Meekin (2019) sebagai  ikatan sosio-emosional.

Ikatan sosio-emosional diartikan di sini  sebagai tanggungjawab sosial untuk menjaga keamanan, keselamatan, dan kenyamanan sesama dalam keluarga, komunitas dan masyarakat.

Ikatan sosio-emosional itulah yang lemah dalam masyarakat kita, pertanda kemiskinan sosial yang serius di Indonesia.  

Setiap warga negara ini kini cenderung mengutamakan kepentingan diri atau kelompoknya sendiri.  Tanpa perduli hal itu berpotensi merugikan atau mencelakakan orang-orang di liigkungan sosialnya.

***
Hubungan antara gejala kemiskinan sosial dan perluasan dan pelanjutan pandemi Covid-19 di Indonesia dapat merujuk pada sejumlah kasus empirik yang sempat viral.

Kasus-kasus resepsi perkawinan oknum polisi di masa pandemi, kengototan tokoh agama yang positif Covid-19 untuk memimpin ibadah, perampasan jenazah korban Covid-19 oleh pihak keluarga, unjuk rasa tanpa peduli protokol Covid-19, pelanggaran larangan mudik, dan kemalasan pemakaian masker dan cuci tangan di ruang publik adalah indikasi kemiskinan sosial pada pelakunya.

Masalahnya tindakan-tindakan semacam itu berpotensi memunculkan klaster baru penularan Covid-19 dan, sudah terbukti, memang demikianlah yang terjadi.  

Tokoh-tokoh utama pelaku tindakan semacam itu jelas menyandang kemiskinan sosial. Sebab dia hanya mementingkan keperluannya sendiri, tanpa perduli hal itu membahayakan keselamatan orang lain. 

Ketiadaan atau rendahnya ikatan sosio-emosional menyebabkan tanggungjawab sosial yang rendah. Perluasan pandemi Covid-19 di wilayah-wilayah merah untuk sebagian besar berakar pada gejala kemiskinan sosial yang melahirkan klaster-klaster penularan baru.  

Indikasi kemiskinan sosial itu sangat mudah diukur dalam konteks pandemi Covid-19.  Dimana protokol Covid-19 paling banyak dilanggar, dengan konsekuensi pandemi Covid-19 juga paling meluas, di situlah tingkat kemiskinan sosial paling tinggi.  
Itu bisa dipegang sebagai hipotesis. 

Atas dasar itu maka bisa diduga tingkat kemiskinan sosial yang tinggi justru terdapat di daerah-daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Dalam hal ini DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat.

***
Pandemi Covid-19 yang berlarut-larut, dengan konsekuensi abnormalitas proses pendidikan dasar dan menengah yang juga berlarut-larut, perlu diwaspadai.   Karena hal itu mengandung risiko "hilang generasi" di Indonesia.  

"Hilang generasi" dalam arti terjadi kegagalan membentuk suatu generasi unggul yang memiliki kompetensi dan daya saing tinggi untuk membawa Indonesia pada posisi terhormat di antara bangsa-bangsa.

Skor PISA Indonesia kini termasuk terendah, jauh di bawah rata-rata dunia. Tahun 2018 skor literasi 371 (rerata OECD 487), matematika 379 (rerata OECD 489( dan sains 396 (rerata OECD 489). Artinya tingkat  literasi, matematika dan sains anak sekolah usia 15 tahun (peserta tes PISA) di Indonesia  sangat rendah.  

Proses pendidikan yang kacau-balau akibat Covid-19 seperti sekarang, jika berlarut-larut, diduga akan "membodohkan" satu generasi. Artinya Indonesia akan mengalami penurunan skor PISA tahun-tahun mendatang.

Ada satu langkah yang dapat ditempuh pemerintah untuk mencegah petaka "hilang generasi" itu yakni penanggulangan kemiskinan sosial.

Pandemi Covid-19 adalah konteks yang relevan untuk langkah penanggulangan itu.  Penegakan protokol Covid-19 secara tegas dan konsisten dapat menjadi instrumen pembentukan ikatan sosio-emosional dalam masyarakat.  

Terbentuknya ikatan sosio-emosional, atau tanggungjawab sosial pada keselamatan sesama, adalah kunci utama pemutusan rantai penularan Covid-19 untuk sekarang ini, atau selama belum ditemukan vaksin anti-Covid-19 yang efektif dan efisien.

Karena itu kepada Pak Jokowi, selaku Presiden RI, disarankan agar tidak fokus semata pada pengendalian kemiskinan ekonomi, tapi juga fokus pada penanggulangan kemiskinan sosial. 

Jika tidak, maka ada risiko Indonesia akan menjalani nasib layaknya  "Sisifus" di masa Pandemi Covid-19 ini.(*)
 
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun