Bahasa "Anu" tidak bisa dihafal. Butuh relasi sosial intim, sehingga bisa menangkap dengan tepat maksud lawan bicara. Seperti pada contoh pembicaraan Poltak dan Ompungnya. Â
Relasi sosial yang minimal cukup intim, itu koentji oetama untuk dapat memahami makna bahasa "Anu".
Koentji kedoea adalah konteks. Bahasa "Anu" punya konteksnya sendiri. Di luar konteks maka dia hilang makna. Bukannya membuahkan kesepahaman, bisa-bisa malah petaka.
Poltak, waktu Kelas 3 SD pernah mendapatkan petaka "anu" itu. Â Waktu disuruh gurunya menyanyi di depan kelas, dengan lantang dia bernyanyi: "Dari anu sampai ke anu. Berjejer anu-anu. Sambung-menyambung..."Â
Pletak! Jitakan Pak Guru mendarat di pitaknya, meninggalkan benjolan ajaib (mendadak ada). "Anukan dulu anumu sana!" sentak Pak Guru sambil mengusirnya ke luar kelas.
Kendati sudah ada relasi intim, bisa saja penggunaan bahasa "Anu" berujung salah pengertian. Lazimnya akibat adanya gangguan komunikasi.
Sebuah contoh fiktif bisa membuat terang soal gangguan ini. Â Suatu percakapan antara Pebrianov dan Poltak di suatu pagi.
Pebrianov: "Wah, Poltak, kamu kok anu banget pagi ini."
Poltak: "Iya, tadi malam saya nganu sampai subuh dengan istri."
Pebrianov: "Oh, kirain kamu nganu sama istri semalaman."
Dalam dialog di atas, makna "anu"adalah "loyo". Sedang makna "nganu" adalah "begadang".