Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Anu Itu Anu yang Anu

27 Agustus 2020   15:28 Diperbarui: 27 Agustus 2020   19:26 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi anu yang anu (Sumber: id.quora.com)

[1]

Suatu percakapan dalam Bahasa Batak antara Poltak dengan Ompungnya, suatu hari di pertengahan 1960-an, di Tanah Batak sana.

Ompung: "Aha!" berteriak sambil melihat ke arah Poltak.

Poltak: "Aha, Ompung."

Ompung: "Ahahon jo angka aha i sian ahanta i!" sambil menunjuk ke gabah yang dijemur di atas hamparan tikar di halaman rumah.

Tanpa pikir panjang, Poltak langsung berlari mengusir ayam-ayam  yang sibuk mematuki gabah di penjemuran.

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, percakapan Poltak dengan Ompungnya kurang lebih begini.

Ompung: "Anu!" (maksudnya, "Poltak!")

Poltak: "Apa, Ompung."

Ompung: "Anukan dulu anu-anu itu dari anu kita!" (Maksudnya, "Usir dulu ayam-ayam itu dari jemuran padi kita!"

Mengapa antara Poltak dan Ompungnya tercapai kesepahaman? Pada hal, bagi"orang luar", percakapan mereka sama sekali tidak bisa dimengerti.  

Kuncinya adalah hubungan yang intim antara Poltak dan Ompungnya. Percakapan tadi adalah wujud komunikasi intim antar keduanya. 

Sedemikian intim sehingga tak diperlukan lagi penggunaan kosakata baku dalam pembicaraan. Cukup dengan kosakata aha yang intim, keduanya sudah tiba pada satu kesepahaman.

Kosakata aha itu punya arti yang banyak. Tergantung pada maksud pengujar. Hebatnya, lawan bicara langsung paham artinya. Itulah buah keintiman relasi sosial.

[2]
Itu tadi fakta. Sekarang fiksi.

Sekumpulan anak Smurf sedang bermain di pekarangan rumah, di bawah terik matahari.

"Smurf banget. Ayo kita smurf," satu Smurf cilik berteriak sambil berlari menuju kolam. Smurf-smurf yang lain ikut berlari di belakangnya.

Sejurus kemudian anak-anak Smurf berlompatan ke dalam kolam sambil berteriak teriak, "Smurf! Smurf! Smurf!"

Para smurf kecil itu terlihat sangat smurf bermain air di dalam kolam.

Itu episode fiktif tentang kehidupan para smurf, merujuk pada buku komik "Smurf", karya Peyo (Pierre Culliford, Belgia)  yang mendunia. Smurf adalah mahluk mini biru yang gemar mengganti satu kata dalam satu kalimat dengan kata "smurf".

Kalau tak paham pembicaraan anak-anak Smurf tadi, berarti kamu generasi smurf yang kurang smurf.

Maksud saya, "kamu generasi millenial yang kurang baca."

[3]
Kembali ke fakta. Komentar saya pada artikel nganu dari Pebrianov, "Menulis, Bercanda yang Serius" (K.26/8/2020).  

Begini: "Anu ini menganukan anuku sampai nganu-anu. Kalau Prov Pebrianov sudah menganukan anunya, anuku jadi nganu gitu, lho. Jadi mari kita anukan anu kita biar anu tetap nganu. Nganu lho. Salam nganu."

Bli Ketut Suweca, dalam artikelnya "Masih Belum Blogwalking? Inilah Alasan Mengapa Hal Itu Penting" (K.26/8/2020), mengaku bingung mengartikan "bahasa anu" itu.

Tentu saja Bli Ketut bingung, demikian juga kebanyakan pembaca lain. Karena relasi sosial saya dengan Bli Ketut belum tiba pada tingkat keintiman yang memadai untuk masuk ke dalam konteks "komunikasi yang intim".  

Lain halnya dengan relasi sosial saya dan Prov Pebrianov.  Kami sudah berintaraksi, saling-ledek dan saling-risak, sering dengan kosakata "vulgar", dalam waktu lama di Kompasiana.  

Karena itu, antara kami berdua sudah terbangun suatu "anu", komunikasi yang relatif intim, yang tak memerlukan kosakata baku selazimnya perbincangan normal. 

Kami cukup menggunakan kosakata "anu" dengan beragam artinya itu.  Relasi intim membuat kami dengan mudah bisa paham arti "anu" atau "nganu" dalam kalimat tertentu.

Mungkin ada yang bertanya, "Apakah Pebrianov sungguh mengerti komentarku di atas?" 

Lihat saja faktanya. Dia memberi tanggapan tanpa bertanya. Kesimpulannya: Pebrianov paham banget. Kalau dia tidak paham, berarti dia sedang nganu demi anu.

[4]
Kembali ke judul, "Anu itu Anu yang Anu." Sudah paham artinya, bukan? Di atas sudah ada clue: "komunikasi yang intim".  

Bahasa "Anu" itu lebih tinggi derajatnya dibanding Bahasa Prokem remaja 1980-an. Untuk bisa berbahasa prokem,  cukup menghafal kosakatanya. Bokap (bapak), nyokap (ibu), bokin (bini, pacar), kokay (kaya), doku (duit) dan lain-lain. Setelah hafal, langsung praktek.

Bahasa "Anu" tidak bisa dihafal. Butuh relasi sosial intim, sehingga bisa menangkap dengan tepat maksud lawan bicara. Seperti pada contoh pembicaraan Poltak dan Ompungnya.  

Relasi sosial yang minimal cukup intim, itu koentji oetama untuk dapat memahami makna bahasa "Anu".

Koentji kedoea adalah konteks. Bahasa "Anu" punya konteksnya sendiri. Di luar konteks maka dia hilang makna. Bukannya membuahkan kesepahaman, bisa-bisa malah petaka.

Poltak, waktu Kelas 3 SD pernah mendapatkan petaka "anu" itu.  Waktu disuruh gurunya menyanyi di depan kelas, dengan lantang dia bernyanyi: "Dari anu sampai ke anu. Berjejer anu-anu. Sambung-menyambung..." 

Pletak! Jitakan Pak Guru mendarat di pitaknya, meninggalkan benjolan ajaib (mendadak ada). "Anukan dulu anumu sana!" sentak Pak Guru sambil mengusirnya ke luar kelas.

Kendati sudah ada relasi intim, bisa saja penggunaan bahasa "Anu" berujung salah pengertian. Lazimnya akibat adanya gangguan komunikasi.

Sebuah contoh fiktif bisa membuat terang soal gangguan ini.  Suatu percakapan antara Pebrianov dan Poltak di suatu pagi.

Pebrianov: "Wah, Poltak, kamu kok anu banget pagi ini."

Poltak: "Iya, tadi malam saya nganu sampai subuh dengan istri."

Pebrianov: "Oh, kirain kamu nganu sama istri semalaman."

Dalam dialog di atas, makna "anu"adalah "loyo". Sedang makna "nganu" adalah "begadang".

Pembicaraan tidak nyambung lantaran saat Poltak menjawab, tiba-tiba Bu Tejo lewat di samping mereka. Pebrianov mendadak terpana oleh bibir Bu Tejo, sehingga dia tak menyimak jawaban Poltak. Bibir Bu Tejo adalah gangguan teranu untuk Pebrianov.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun