Tapi bagi seorang penyimpang, jumlah kunjungan yang kecil bukan masalah. Hal terpenting baginya adalah manfaat atau maslahat yang disumbangkan artikelnya, kendati hanya untuk segelintir orang. Baginya, meminjam prinsip Baconian (F. Bacon), menulis itu untuk kemaslahatan sesama. Â
Kompasianer penyimpang lebih mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas pengunjung. Â Dia lebih suka artikelnya dikunjungi sedikit pembaca yang memberikan respon cerdas dan serius. Â Ketimbang artikel dikunjungi sangat banyak pembaca tapi tanpa suatu respon. Atau jika ada respon, cuma basa-basi saja.
***
Seperti sudah saya bilang dimuka, artikel ini tak punya pretensi untuk memberi penilaian baik atau buruk. Posisi kapitalistik Kompasiana adalah keniscayaan sebagai bagian dari konglomerat media KKG. Tidak bisa diharapkan lain dari itu.
Posisi sebagai pengabdi atau penyimpang bagi Kompasianer adalah pilihan. Â Karena itu tak ada dasar untuk mengatakan pengabdi lebih baik dibanding penyimpang atau sebaliknya.Â
Pada posisi manapun Kompasianer berdiri, selalu ada nilai atau kepentingan yang diperjuangkan.
Fakta Kompasianer pengabdi itu menjadi kekuatan produksi bagi kapitalis Kompasiana bukanlah sesuatu yang bernilai negatif. Dalam konteks sistem dunia yang berformasi sosial kapitalis (I. Wallerstein), relasi sosial dengan kapitalis adalah keniscayaan. Entah itu sebagai konsumen, sub-produsen, ataupun bagian dari kekuatan produksi yaitu sebagai pekerja. Â
Begitu juga dengan posisi penyimpang. Tdak dengan sendirinya menjadi negatif hanya karena menyimpang dari nilai yang dibawakan Kompasiana, wahana tempatnya berkarya. Banyak kemajuan iptek dan sosial di dunia ini yang diraih berkat inisiatif dan karya para penyimpang.Â
Galilei, Edison, Einstein, Jobs, Gates, Musk, Jack Ma dan Nadiem adalah sekadar contoh penyimpang sosial yang membuahkan kemajuan iptek.Â
Begitupun, artikel-artikel tren di Kompasiana untuk sebagian adalah hasil karya penyimpang. Bukan artikel arus utama, tapi artikel unik yang mampu memenangkan perhatian khalayak.
Bagi saya, satu hal yang merisaukan sebenarnya adalah gejala Kompasiana berkembang sebagai wahana kompetisi. Memang tetap ada kelompok penyimpang yang memberi warna "pemberontakan" di dalamnya. Tapi posisinya periferal terhadap mayoritas pengabdi, Kompasianer arus utama, yang mengalami Kompasiana sebagai wahana kompetisi. Â
Dunia kita, karena itu, semakin bikin tensi darah stabil tinggi.  Hogh spanning dari subuh sampai subuh. Sudah di alam nyata kita harus bersaing dengan orang lain, demi sesuap nasi, di dunia maya Kompasiana juga masih harus bersaing meraih posisi terbaik. Â