"Kemampuan menulis artikel itu tak bisa diajarkan." Â Kamu selalu menyanggah setiap kali aku mengatakan itu. Â
"Buktinya," bantahmu, "ada banyak buku panduan menulis artikel. Â Buktinya lagi, ada banyak pelatihan menulis artikel."
Aku bertanya padamu, kawan, "Apakah kamu sudah membaca buku-buku panduan menulis artikel itu?" "Sudah!" jawabmu lantang.
"Kalau begitu," kejarku, "tunjukkanlah kepadaku satu saja artikel yang sudah kamu tulis." Â
"Belum ada," katamu malu-malu. Â Belum ada? Bukankah kamu sudah belajar dari buku-buku petunjuk praktis menulis artikel?
***
Pendirianku itu sebenarnya terinspirasi oleh kisah Poltak. Ketika menjadi murid Sekolah Dasar di puncak Bukit Barisan di Tanah Batak sana, dia terkenal sebagai salah seorang murid yang sama sekali tidak bisa mengarang. Â
Kalau ada nilai minus 5, mungkin gurunya akan menganugerahkan "ponten" itu untuknya. Sebegitu tumpulnya kemampuan mengarang Poltak sehingga gurunya di Kelas 4 sampai bilang, "Lebih mudah mengajar ayam jantan bertelur ketimbang mengajar Poltak mengarang."
"Memangnya ada ayam jantan yang bertelur, Pak Guru?" tanya Poltak heran tanpa rasa bersalah. Â
"Kamu ayam jantannya, Poltak, kalau kamu bisa mengarang!" teriak gurunya sengit.
Nah, guru dan murid sama gilanya. Berdua sama-sama kencing berlari. Â
"Kalau ayam jantan bertelur maka dia akan berkotek," pikir Poltak tak peduli teriakan gurunya.
Ketika menginjak bangku SMP Seminari di Pematang Siantar, Poltak tetap tak bisa mengarang. Â Guru Bahasa Indonesianya selalu menghadiahkan nilai 5 untuk setiap karangannya. Â Itu sudah sangat murah hati. Harusnya 3 atau 4.Â
Anehnya, Poltak sangat gemar membaca. Semua buku-buku cerita klasik yang ada di perpustakaan Seminari dilalapnya. Â Karya-karya Charles Dickens, H.C. Andersen, Jules Verne, Karl May, Daniel Defoe, Alexandre Dumas, Harriet B. Stowe, Mark Twain, Jonathan Swift dan pengarang dunia lainnya dibabat habis.
Sudah melahap banyak buku, tetap saja Poltak tidak bisa mengarang. Â Tapi, bagusnya, dia menjadi sensitif menilai karangan. Â Mana yang menarik dan mana yang tidak. Â Mana yang bagus dan mana yang tidak. Â Tentu berdasar subyektivitasnya.
Karena merasa punya sensitivitas, Poltak lalu melamar menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Dinding sekolah. Â Hebatnya, lamarannya diterima Guru Bahasa Indonesia, pembimbing Majalah Dinding, karena dialah satu-satunya yang mengajukan diri.Â
Malapetakakah bagi para pengarang sekolahan punya redaktur bernama Poltak? Â Tidak, kawan. Karena setiap kali hendak menerbitkan satu tulisan, Poltak selalu minta pendapat dari Guru Bahasa Indonesia. Â Jadi, dia "tak pernah salah menilai mutu karangan."
Sampai lulus SMP Seminari, Poltak tetap tak bisa mengarang. Â Tapi, berdasar pengalaman baca dan menyeleksi tulisan untuk majalah dinding, intuisinya tentang tulisan yang baik dan buruk semakin tajam. Â Sekurangnya begitu dia menilai diri sendiri.
Poltak baru bisa menghasilkan karangan berupa cerpen-cerpen picisan sewaktu menjadi murid SMA di pedalaman Tanah Batak. Alasannya, Â keterpaksaan, Â karena sekolahnya tidak punya perpustakaan. Â Tidak ada buku cerita di sekolah terpencil itu.
Cerpen-cerpen Poltak itu, tulis tangan, lalu diedarkan di lingkungan teman sekelas sampai lain kelas. Â Semua temannya memuji, semua bilang bagus, semua minta cerita baru. Â Poltak tersanjung. Maka mengalirlah cerpen-cerpen baru dari tangannya.
***
Apakah benar cerpen-cerpen Poltak itu bagus? Entahlah. Â Tidak bisa dinilai lagi karena, menurut Poltak, setiap cerpen yang diedarkan tidak pernah lagi kembali kepadanya.
"Tahukah kamu, kawan? Â Poltak baru menjadi 'ayam jantan yang bertelur', menelurkan karangan, sekitar enam tahun sejak disumpahi gurunya di SD," Â kataku pada kawan yang gemar membantah itu.
"Kamu sudah dengar ceritaku, bukan? Â Poltak tak pernah diajari cara menulis cerita. Â Guru-gurunyanya selalu gagal mengajarinya."
"Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya temanku setengah putus asa.
"Jadilah ayam jantan yang bertelur, lalu berkoteklah!" teriakku sengit, meniru guru Poltak. Â Aku pikir, kapan lagi bisa melampiaskan dendam Poltak pada gurunya kalau bukan sekarang. Just kidding, kawans.(*)
*)Artikel ini adalah versi humor dari artikel "Intuisi, Serendipitas dan Kompasianer Om Gege nan 'Lancang'" (K.19.07.20)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H