"Kalau ayam jantan bertelur maka dia akan berkotek," pikir Poltak tak peduli teriakan gurunya.
Ketika menginjak bangku SMP Seminari di Pematang Siantar, Poltak tetap tak bisa mengarang. Â Guru Bahasa Indonesianya selalu menghadiahkan nilai 5 untuk setiap karangannya. Â Itu sudah sangat murah hati. Harusnya 3 atau 4.Â
Anehnya, Poltak sangat gemar membaca. Semua buku-buku cerita klasik yang ada di perpustakaan Seminari dilalapnya. Â Karya-karya Charles Dickens, H.C. Andersen, Jules Verne, Karl May, Daniel Defoe, Alexandre Dumas, Harriet B. Stowe, Mark Twain, Jonathan Swift dan pengarang dunia lainnya dibabat habis.
Sudah melahap banyak buku, tetap saja Poltak tidak bisa mengarang. Â Tapi, bagusnya, dia menjadi sensitif menilai karangan. Â Mana yang menarik dan mana yang tidak. Â Mana yang bagus dan mana yang tidak. Â Tentu berdasar subyektivitasnya.
Karena merasa punya sensitivitas, Poltak lalu melamar menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Dinding sekolah. Â Hebatnya, lamarannya diterima Guru Bahasa Indonesia, pembimbing Majalah Dinding, karena dialah satu-satunya yang mengajukan diri.Â
Malapetakakah bagi para pengarang sekolahan punya redaktur bernama Poltak? Â Tidak, kawan. Karena setiap kali hendak menerbitkan satu tulisan, Poltak selalu minta pendapat dari Guru Bahasa Indonesia. Â Jadi, dia "tak pernah salah menilai mutu karangan."
Sampai lulus SMP Seminari, Poltak tetap tak bisa mengarang. Â Tapi, berdasar pengalaman baca dan menyeleksi tulisan untuk majalah dinding, intuisinya tentang tulisan yang baik dan buruk semakin tajam. Â Sekurangnya begitu dia menilai diri sendiri.
Poltak baru bisa menghasilkan karangan berupa cerpen-cerpen picisan sewaktu menjadi murid SMA di pedalaman Tanah Batak. Alasannya, Â keterpaksaan, Â karena sekolahnya tidak punya perpustakaan. Â Tidak ada buku cerita di sekolah terpencil itu.
Cerpen-cerpen Poltak itu, tulis tangan, lalu diedarkan di lingkungan teman sekelas sampai lain kelas. Â Semua temannya memuji, semua bilang bagus, semua minta cerita baru. Â Poltak tersanjung. Maka mengalirlah cerpen-cerpen baru dari tangannya.
***
Apakah benar cerpen-cerpen Poltak itu bagus? Entahlah. Â Tidak bisa dinilai lagi karena, menurut Poltak, setiap cerpen yang diedarkan tidak pernah lagi kembali kepadanya.