Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kekaguman dan Dukungan untuk Kompasianer NTT

17 Juli 2020   15:02 Diperbarui: 17 Juli 2020   16:29 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keindahan sawah lingko di Manggarai Flores ini tepat menggambarkan logika, etika dan estetika berbahasa orang NTT (Foto: labuanbajotour.com)

Ende adalah penanda Nusa Tengara Timur (NTT) yang pertama melekat di benakku. Bukan dari kisah Bung Karno yang sempat diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda ke kota itu.  Tapi dari sampul dan teks kolofon buku-buku rohani yang saya baca di seminari awal 1970-an.  Tercantum di situ, "Percetakan Arnoldus, Ende Flores."

Gerson Poyk adalah tokoh sastrawan yang namanya pertama melekat di benakku.  Bukan karena diberitahu guru Bahasa Indonesia.  Tapi karena kumpulan cerpennya, Nostalgia Nusa Tenggara (1976), begitu mengena di hatiku.  Namun,  sumpah, saya lupa di mana dan tahun berapa saya telah membaca karya itu dulu.

Setelah Gerson Poyk ada nama Gorys Keraf, penulis buku teks Komposisi  yang membuat saya sebal kepada dosen Bahasa Indonesia.  Buku bagus ini menurut saya bukan untuk dipelajari melainkan untuk dirujuk.  Tapi dosen Bahasa Indonesia kami di sebuah universitas memilih untuk mengajarkannya.  Konsekuensinya ada ujian komposisi Bahasa Indonesia.  Itu sangat menyebalkan.

Dua nama itu, Gerson dan Gorys, dengan karya tulis mereka, telah berhasil meyakinkan saya bahwa orang NTT memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang mumpuni.  Tata bahasanya sempurna, kosa katanya kaya, diksi dan gaya bahasanya memikat.

Begitulah.  Kemampuan tinggi dalam berbahasa Indonesia itu kemudian hari terbukti juga pada sejumlah cendikiawan NTT.   Misalnya  Frans Seda, Jan Riberu, Robert Lawang, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Sonny Keraf, Frans Parera, dan Eri Seda.  Itu untuk menyebut sejumlah kecil yang saya kenal dan baca tulisannya.

Pada akhirnya saya punya predisposisi bahwa setiap orang NTT memiliki penguasaan Bahasa Indonesia yang baik sehingga mampu menjadi penulis yang baik.   Barangkali kemampuan itu memang diajarkan secara khusus di sekolah-sekolah yang ada di sana.  Tapi entahlah, biarkan orang NTT sendiri yang menjawabnya. 

***

Saya membaca artikel-artikel rekan-rekan Kompasianer asal atau asli NTT dengan predisposisi di atas.  Dan mereka membuktikan diriku benar belaka adanya.   Artikel-artikel karya rekan-rekan Kompasianer NTT itu memang mencerminkan penguasaan Bahasa Indonesia yang baik.  Kalimatnya sederhana, pilihan kata tepat, dan gaya bahasa memikat.  Pendek kata, enak dibaca dan mudah dipahami.

Agar saya tidak dianggap melebih-lebihkan, cobalah sempatkan membaca artikel-artikel Om Gege (namanya gonta-ganti), Reba GT (juga suka ganti nama), Neno Anderias Salukh, Giorgio Babo Moggi (sudah jarang menulis), Suherman Agustinus, Arnold Adoe, Blasius Mengkaka, dan Adolf Isaac Deda.  Itu untuk menyebut beberapa nama Kompasianer NTT yang kerap saya baca artikelnya.

Saya tak hendak mengatakan mereka itu Kompasianer penulis artikel-artikel terbaik di Kompasiana.  Tidak.  Tapi saya harus jujur bilang artikel-artikel mereka memikat.   Terutama artikel-artikel tentang masyarakat dan alam NTT. 

Untuk saat ini saya menikmati artikel-artikel tentang masayarakat dan alam dua daerah di sana.  Pertama tentang Manggarai Raya dari artikel-artikel Reba GT, Suherman Agustinus dan Om Gege (yang kini lebih doyan menulis isu politik dan ekonomi nasional).  Kedua tentang masyarakat dana lam Timor, khususnya masyarakat dan alam orang Dawan (Atoni) di Timor Tengah Selatan dari artikel-artikel Neno Anderias Salukh.

Artikel-artikel mereka memperkaya pengetahuan dan pemahaman saya tentang masyarakat NTT, khususnya masyarakat pedesaan.  Sebelumnya, dalam satu tim riset, awal 1990-an saya pernah melakukan riset sosial di Kabupaten Ende, Flores selama sebulan penuh.  Saya bersyukur bisa memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang masyarakat Ende-Lio, Flores.  Bonusnya, saya senang pada akhirnya dapat menginjakkan kaki di depan Percetakan Arnoldus, Ende Flores, duapuluh tahun setelah namanya saya baca di sampul buku-buku rohani.

Saya sungguh menghargai pilihan sejumlah rekan Kompasianer NTT untuk menulis tentang masyarakat dan alam daerahnya sendiri.  Mengangkat ragam kisah dan masalah lokal ke ruang publik skala nasional bahkan global seperti Kompasiana ini besar manfaatnya. Pertama, dunia menjadi tahu tentang masalah-masalah lokal di sudut-sudut nusantara.  Kedua, sangat mungkin ada orang atau badan yang tertarik untuk mengembangkan potensi lokal atau membantu masalah-masalah lokal yang diwartakan para Kompasianer.  Bagaimanapun, komunikasi adalah awal solusi untuk permasalahan dan kemajuan.

Saya sendiri misalnya sudah mencoba dengan rekan-rekan Kompasianer Manggarai NTT berdiskusi untuk menemukan solusi atas kemandegan pembangunan pertanian pangan, khususnya padi sawah, di sana.  Saya tidak mau mengklaim bahwa diskusi kami telah menghasilkan solusi terbaik.  Tapi sekurangnya kami telah mencoba untuk merumuskan beberapa langkah kecil untuk keluar dari keterbelakangan pertanian sawah di sana.

***

Jika saya mengangkat Kompasianer NTT di sini, tak berarti hal itu menafikan rekan-rekan Kompasianer dari daerah lain.  Sama seperti Kompasianer NTT, para Kompasianer dari daerah lain juga telah mengangkat isu-isu menarik tentang daerah mereka ke ruang publik Kompasiana.  Saya kira, artikel-artikel mereka juga setara nilainya dengan artikel-artikel rekan Kompasianer NTT.

Ikatan emosional saya dengan NTT, khususnya Ende-Flores, itulah yang menuntun preferensi saya untuk mengangkat kiprah rekan-rekan Kompasianer NTT di sini.  Tujuannya bukan untuk mengagung-agungkan mereka, melainkan semata untuk menyemangati mereka agar lebih gigih lagi dan lebih konsisten untuk mengangkat segala persoalan lokal di daerahnya ke ruang publik dunia. 

Menulis artikel pastilah membuahkan kebaikan. Mungkin dari ruang publik itu kelak akan datang pula perhatian untuk daerah NTT, entah dalam bentuk kunjungan wisata, program pengembangan masyarakat, atau sekadar saran atau masukan untuk pembangunan masyarakat.

Saya pikir cukuplah pengakuan kekaguman sekaligus dukungan saya untuk rekan-rekan Kompasianer NTT.  Saya tulis ini kepada mereka sebagai sepucuk surat yang gagal dikirimkan lewat Kantor Pos.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun