Ende adalah penanda Nusa Tengara Timur (NTT) yang pertama melekat di benakku. Bukan dari kisah Bung Karno yang sempat diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda ke kota itu. Â Tapi dari sampul dan teks kolofon buku-buku rohani yang saya baca di seminari awal 1970-an. Â Tercantum di situ, "Percetakan Arnoldus, Ende Flores."
Gerson Poyk adalah tokoh sastrawan yang namanya pertama melekat di benakku. Â Bukan karena diberitahu guru Bahasa Indonesia. Â Tapi karena kumpulan cerpennya, Nostalgia Nusa Tenggara (1976), begitu mengena di hatiku. Â Namun, Â sumpah, saya lupa di mana dan tahun berapa saya telah membaca karya itu dulu.
Setelah Gerson Poyk ada nama Gorys Keraf, penulis buku teks Komposisi  yang membuat saya sebal kepada dosen Bahasa Indonesia.  Buku bagus ini menurut saya bukan untuk dipelajari melainkan untuk dirujuk.  Tapi dosen Bahasa Indonesia kami di sebuah universitas memilih untuk mengajarkannya.  Konsekuensinya ada ujian komposisi Bahasa Indonesia.  Itu sangat menyebalkan.
Dua nama itu, Gerson dan Gorys, dengan karya tulis mereka, telah berhasil meyakinkan saya bahwa orang NTT memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang mumpuni. Â Tata bahasanya sempurna, kosa katanya kaya, diksi dan gaya bahasanya memikat.
Begitulah.  Kemampuan tinggi dalam berbahasa Indonesia itu kemudian hari terbukti juga pada sejumlah cendikiawan NTT.  Misalnya  Frans Seda, Jan Riberu, Robert Lawang, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Sonny Keraf, Frans Parera, dan Eri Seda.  Itu untuk menyebut sejumlah kecil yang saya kenal dan baca tulisannya.
Pada akhirnya saya punya predisposisi bahwa setiap orang NTT memiliki penguasaan Bahasa Indonesia yang baik sehingga mampu menjadi penulis yang baik. Â Barangkali kemampuan itu memang diajarkan secara khusus di sekolah-sekolah yang ada di sana. Â Tapi entahlah, biarkan orang NTT sendiri yang menjawabnya.Â
***
Saya membaca artikel-artikel rekan-rekan Kompasianer asal atau asli NTT dengan predisposisi di atas. Â Dan mereka membuktikan diriku benar belaka adanya. Â Artikel-artikel karya rekan-rekan Kompasianer NTT itu memang mencerminkan penguasaan Bahasa Indonesia yang baik. Â Kalimatnya sederhana, pilihan kata tepat, dan gaya bahasa memikat. Â Pendek kata, enak dibaca dan mudah dipahami.
Agar saya tidak dianggap melebih-lebihkan, cobalah sempatkan membaca artikel-artikel Om Gege (namanya gonta-ganti), Reba GT (juga suka ganti nama), Neno Anderias Salukh, Giorgio Babo Moggi (sudah jarang menulis), Suherman Agustinus, Arnold Adoe, Blasius Mengkaka, dan Adolf Isaac Deda. Â Itu untuk menyebut beberapa nama Kompasianer NTT yang kerap saya baca artikelnya.
Saya tak hendak mengatakan mereka itu Kompasianer penulis artikel-artikel terbaik di Kompasiana. Â Tidak. Â Tapi saya harus jujur bilang artikel-artikel mereka memikat. Â Terutama artikel-artikel tentang masyarakat dan alam NTT.Â
Untuk saat ini saya menikmati artikel-artikel tentang masayarakat dan alam dua daerah di sana. Â Pertama tentang Manggarai Raya dari artikel-artikel Reba GT, Suherman Agustinus dan Om Gege (yang kini lebih doyan menulis isu politik dan ekonomi nasional). Â Kedua tentang masyarakat dana lam Timor, khususnya masyarakat dan alam orang Dawan (Atoni) di Timor Tengah Selatan dari artikel-artikel Neno Anderias Salukh.