Pada Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet membahas Antisipasi Kebutuhan Bahan Pokok di Istana Bogor (28/4/2020), Presiden Jokowi secara khusus meminta BUMN mencetak areal sawah baru.
Dalam perkembangannya kemudian, inisiatif cetak sawah itu menyertakan Kementerian Pertanian (Kementan), di bawah koordinasi Menko Perekonomian.
Urgensi cetak sawah itu adalah mitigasi risiko krisis pangan dunia terkait pandemi Covid-19. Karantina wilayah (lockdown) di beberapa negara produsen pangan akibat pandemi itu, serta perkiraan kekeringan ekstrim tahun ini, menyebabkan penurunan aktivitas produksi, distribusi dan ketersedian pangan dunia.
Negara-negara produsen/pengekspor pangan juga akan lebih mengutamakan kebutuhan domestiknya. Impor pangan oleh Indonesia, misalnya impor beras dari Thailand, Vietnam dan India, akan sulit.
Situasi itu mendorong FAO menganjurkan setiap negara, terutama importir pangan, menjalankan opsi peningkatan produksi pangan domestik untuk menjamin kecukupan pangannya.
Pertanyaan krusial di sini, relevankah pemerintah mencetak sawah baru untuk mitigasi krisis pangan nasional? Jika tidak, solusi apa yang sebaiknya ditempuh?
Krisis Pangan atau Janji Presiden?
Dalam Ratas Kabinet tersebut Presiden Jokowi mengumumkan perkiraan defisit pangan di sejumlah provinsi. Defisit bawang putih di 31 provinsi, gula pasir di 30 provinsi, cabai merah di 23 provinsi, telur ayam di 21 provinsi, jagung di 11 provinsi, dan beras di 7 provinsi.
Sebenarnya, jika merujuk informasi itu, gejala defisit pangan nasional belum tampak jelas. Ukuran utama krisis pangan nasional untuk Indonesia adalah defisit persediaan beras.
Jika perkiraan defisit beras hanya di 7 provinsi, dan itu bisa diatasi dengan distribusi beras antar-daerah, maka opsi pencetakan sawah baru tidaklah relevan.
Alasannya, pertama, jika tujuannya jangka pendek yaitu mitigasi risiko defisit persediaan beras akibat pandemi Covid-19 dan ancaman kekeringan tahun ini maka cetak sawah baru (ekstensifikasi) bukanlah jawaban.