Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mitigasi Risiko Krisis Pangan 2020, Cetak Sawah atau Intensifikasi?

3 Juni 2020   04:29 Diperbarui: 3 Juni 2020   11:43 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet membahas Antisipasi Kebutuhan Bahan Pokok di Istana Bogor (28/4/2020), Presiden Jokowi secara khusus meminta BUMN mencetak areal sawah baru.

Dalam perkembangannya kemudian, inisiatif cetak sawah itu menyertakan Kementerian Pertanian (Kementan), di bawah koordinasi Menko Perekonomian.

Urgensi cetak sawah itu adalah mitigasi risiko krisis pangan dunia terkait pandemi Covid-19. Karantina wilayah (lockdown) di beberapa negara produsen pangan akibat pandemi itu, serta perkiraan kekeringan ekstrim tahun ini, menyebabkan penurunan aktivitas produksi, distribusi dan ketersedian pangan dunia.

Negara-negara produsen/pengekspor pangan juga akan lebih mengutamakan kebutuhan domestiknya. Impor pangan oleh Indonesia, misalnya impor beras dari Thailand, Vietnam dan India, akan sulit.

Situasi itu mendorong FAO menganjurkan setiap negara, terutama importir pangan, menjalankan opsi peningkatan produksi pangan domestik untuk menjamin kecukupan pangannya.

Pertanyaan krusial di sini, relevankah pemerintah mencetak sawah baru untuk mitigasi krisis pangan nasional? Jika tidak, solusi apa yang sebaiknya ditempuh?

Krisis Pangan atau Janji Presiden?

Dalam Ratas Kabinet tersebut Presiden Jokowi mengumumkan perkiraan defisit pangan di sejumlah provinsi. Defisit bawang putih di 31 provinsi, gula pasir di 30 provinsi, cabai merah di 23 provinsi, telur ayam di 21 provinsi, jagung di 11 provinsi, dan beras di 7 provinsi.

Sebenarnya, jika merujuk informasi itu, gejala defisit pangan nasional belum tampak jelas. Ukuran utama krisis pangan nasional untuk Indonesia adalah defisit persediaan beras.

Jika perkiraan defisit beras hanya di 7 provinsi, dan itu bisa diatasi dengan distribusi beras antar-daerah, maka opsi pencetakan sawah baru tidaklah relevan.

Alasannya, pertama, jika tujuannya jangka pendek yaitu mitigasi risiko defisit persediaan beras akibat pandemi Covid-19 dan ancaman kekeringan tahun ini maka cetak sawah baru (ekstensifikasi) bukanlah jawaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun