Indikasinya adalah produktivitas yang rendah, luas pengusaan sawah yang menyempit, teknologi yang rendah (benih dan perlakukan budidaya), dan petani yang "kolot" (tua, lamban, resisten). Â
Kondisi pertanian seperti itu menyebabkan pendapatan rendah, sehingga ekonomi petani Manggarai akrab dengan kemiskinan.
Kondisi di atas diperparah fakta bahwa pemerintah kurang fokus pada pembangunan pertanian, brain drain masyarakat petani, dan perubahan struktur komunal menjadi individual.
Tanpa solusi menyeluruh, yang melibatkan petani, penguasa, pengusaha, dan masyarakat madani, ada kecemasan bahwa pertanian sawah Manggarai akan mengalami penurunan terus menerus.
Jika hal itu tidak diantisipasi, maka ada risiko Manggarai Raya akan berubah dari "Lumbung Beras NTT" menjadi "Bumbung Kosong NTT".Â
Sampai hari ini, Manggarai adalah penyangga pangan NTT. Â Pembiaran atas kondisi di atas berisiko mengantar NTT pada maslah krisis pangan seperti di masa lalu.
Apa yang Harus Dilakukan?
Ada nada menyalahkan pemerintah dalam diskusi tersebut. Â Pemerintah dinilai abai pada pembangunan pertanian dan hanya berbicara pada petani pada masa-masa kampanye Pilkada. Â Dengan kata lain petani hanya dianggap sebagai alat produksi politik (kekuasaan).
Tapi setelah mengidentifikasi berbagai masalah di atas, tidak adil bila hanya menyudutkan pemerintah. Â
Petani, pengusaha, dan unsur-unsur masyarakat madani Manggarai juga perlu berefleksi, untuk melihat persoalan secara jernih.
Masalah keterbelakangan pertanian sawah, dan kemiskinan petani sawah, di Manggarai bukan karena kesalahan satu pihak saja. Â Semua pihak punya andil. Â