Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kemiskinan Petani Manggarai, Pandangan Orang Luar

1 Juni 2020   15:44 Diperbarui: 1 Juni 2020   19:27 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sawah berpola lingko di Cancar Manggarai (Foto: mongabay.co.id/ebed de rosary)

Artikel rekan Kompasianer Suherman Agustinus (SA), tentang kemiskinan petani di Manggarai NTT, penting untuk ditanggapi. 

Tulisan itu wujud kepedulian seorang putra daerah terhadap persoalan-persoalan nyata di daerahnya. Karena itu perlu diapresiasi dengan memberi tanggapan. (Baca "Bertahun-tahun Bekerja di Sawah, Kenapa Ekonomi Petani Manggarai Tidak Berkembang?" K.29/05/2020).

Bukan karena saya ahli soal kemiskinan, atau pertanian, atau soal Manggarai, sehingga tergerak menanggapi. Tapi semata-mata didasari niat tukar pikiran dengan rekan-rekan Kompasianer Manggarai khususnya, NTT umumnya. 

Kompasiana mungkin bisa menjadi wadah diskusi yang baik. Siapa tahu bisa lahir gagasan kecil untuk penguatan masyarakat petani Manggarai.

Subyek sekaligus fokus diskusi ini adalah masyarakat petani padi Manggarai. Mencakup petani pemilik dan buruh tani yang cari nafkah di atasnya.

Dalam diskusi ini, saya menggunakan perspektif "orang luar" Manggarai. Tanpa pretensi bahwa saya objektif.

Manggarai Raya Termiskin se-NTT
Manggarai Raya itu, gabungan Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat. Secara keseluruhan adalah daerah termiskin di NTT. Total pendduk miskinnya tahun 2019 mencapai 194,390 jiwa atau 17% dari populasi penduduk miskin NTT (1,146,000 jiwa).

NTT sendiri, dengan jumlah penduduk miskin 20.62% (2019) termasuk urutan ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua (26.55%) dan Papua Barat (21.51%). Angka itu jauh di atas rata-rata nasional (9.22%). Jadi "wajar" saja jika petani padi Manggarai bisa langsung disimpulkan "tergolong miskin". 

Dilihat dari tingginya angka kemiskinan di Manggarai Raya khususnya, NTT khususnya, wajarlah jika rekan SA mempertanyakan moral pemerintah/politisi yang hanya memanfaatkan petani sebagai "alat produksi kekuasaan/politik" musiman.

Petani Padi Itu "Wajar" Miskin
Sebenarnya "wajar" saja kalau petani padi itu miskin. Memang begitu dari dari dulu di Indonesia. Kalau petani padi sampai kaya, berarti dia petani besar, punya sawah 10ha.

Di Indonesia jumlah penduduk miskin 25.14 juta jiwa (2019). Mayoritas darinya, 15.15 juta jiwa atau 66.26 %adalah penduduk pedesaan. Itu artinya mayoritas orang miskin itu petani.

Petani miskin itu sudah sejak zaman kolonial. Berlanjut ke masa pemerintahan Soekarno, ditandai ikon "marhaen". Lanjut ke masa pemerintahan Soeharto sampai Jokowi sekarang. Selamanya jadi komoditas politik masiman.

Jumlah penduduk miskin memang cenderung menurun. Tapi tahun ini, karena terdampak pandemi Covid-19, jumlahnya diprediksi akan meningkat lagi.

Gejala Involusi Pertanian
Rekan SA mengidentifikasi tiga penyebab kemiskinan petani padi Manggarai.

Pertama, faktor penggunaan berlebih pupuk kimia yang menyebabkan tanah rusak sehingga produktivitasnya turun. Kedua, faktor serangan hama dan prnyakit yang tak terkendali. Dan ketiga, ketakpastian iklim, kekeringan dan kebanjiran parah.

Tiga faktor itu sebenarnya cekaman biotik dan abiotik bisa diatasi dengan inovasi teknologi budidaya padi. Tapi entah kenapa perkembangan teknologi pertanian begitu lamban, atau mungkin stagnan di Manggarai.

Produktivitas padi sawah di Manggarai hanya 4-5 ton GKG/ ha, di bawah rata-rata nasional 5.2 ton GKG/ha. Sebagian areal hanya bisa dipanen sekali setahun. Begitupun,  Manggarai Raya adalah lumbung beras NTT.

Akar persoalan kemiskinan petani padi di Manggarai mungkin harus dicari pada sistem penguasaan lahan. Di sana berlaku lembaga lodok-lingko, membagi lahan berdasar jari-jari (moso).

Sehingga, satu hamparan (lingko) terbagi-bagi menjadi sejumlah potongan (lodok). Kira-kira bentuknya seperti jaring laba-laba atau pizza dipotong-potong.

Ukuran potongan "pizza sawah" itu (ukuran moso, jari, dari titik tengah), menggambarkan status sosial dan besarnya hak serta tanggungan petani. Jadi ada prinsip keadilan juga di situ. Menurut ukuran sosial setempat.

Tapi saya duga justru di situlah duduk masalah strukturalnya. Luas sawah (lingko) tetap tapi jumlah penduduk (rumahtangga) bertambah terus.

Akibatnya. luasan lodok (potongan "pizza sawah") semakin menyempit. Dengan kata lain terjadi proses guremisasi. Guremisasi adalah proses pemiskinan.

Kondisinya diperparah oleh masuknya buruhtani yang upahnya tergolong tinggi. Tenaga mereka mungkin tidak terlalu diperlukan, tapi moral ekonomi petani membuat mereka harus tetap ditampung cari nafkah di lingko.

Akibatnya terlalu banyak petani dan buruh tani menggantungkan nafkah di areal sawah yang terbatas. Itulah involusi pertanian yang menyebabkan "kemiskinan terbagi" dalam masyarakat petani padi Manggarai. Ini yang disebut kemiskinan struktural.

Dalam konteks lingko, yang terjadi di Manggarai adalah kemiskinan dalam keadilan sosial, menurut ukuran lokal.

Jadi pertanyaan rekan SA, "Kenapa ekonomi petani Manggarai tidak berkembang walau sudah bertahun-tahun bekerja di sawah" kiranya terjawab. Involusi pertanian di sawah berteknologi rendah itulah jawabannya. Dalam kondisi involutif, petani padi Manggarai semakin lama akan semakin miskin.

Diskusi
Kesimpulan pertanian Manggarai yang involutif dan berimplikasi kemiskinan terbagi itu harus dibaca sebagai hipotesis.

Suatu diskusi dengan rekan-rekan Kompasianer Manggarai khususnya dan NTT umumnya diperlukan untuk memastikan apa yang sejatinya terjadi di sana. Atas dasar itu baru bisa dirumuskan solusi yang relevan, kontekstual dan historis.

Saya tunggu respon dari rekan- rekan Kompasianer NTT. Ada Suherman Agustinus sendiri, tentu saja. Lalu ada Laro Jaong, Reba GT, Arnold Adoe, dan Anderias Neno Salukh. Mari kita baku pikir.

Kita bisa memilih untuk sibuk membicarakan persoalan nasional dan bahkan internasional, atau mendiskusikan persoalan sosial dasar di belakang rumah kita.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun