Kondisinya diperparah oleh masuknya buruhtani yang upahnya tergolong tinggi. Tenaga mereka mungkin tidak terlalu diperlukan, tapi moral ekonomi petani membuat mereka harus tetap ditampung cari nafkah di lingko.
Akibatnya terlalu banyak petani dan buruh tani menggantungkan nafkah di areal sawah yang terbatas. Itulah involusi pertanian yang menyebabkan "kemiskinan terbagi" dalam masyarakat petani padi Manggarai. Ini yang disebut kemiskinan struktural.
Dalam konteks lingko, yang terjadi di Manggarai adalah kemiskinan dalam keadilan sosial, menurut ukuran lokal.
Jadi pertanyaan rekan SA, "Kenapa ekonomi petani Manggarai tidak berkembang walau sudah bertahun-tahun bekerja di sawah" kiranya terjawab. Involusi pertanian di sawah berteknologi rendah itulah jawabannya. Dalam kondisi involutif, petani padi Manggarai semakin lama akan semakin miskin.
Diskusi
Kesimpulan pertanian Manggarai yang involutif dan berimplikasi kemiskinan terbagi itu harus dibaca sebagai hipotesis.
Suatu diskusi dengan rekan-rekan Kompasianer Manggarai khususnya dan NTT umumnya diperlukan untuk memastikan apa yang sejatinya terjadi di sana. Atas dasar itu baru bisa dirumuskan solusi yang relevan, kontekstual dan historis.
Saya tunggu respon dari rekan- rekan Kompasianer NTT. Ada Suherman Agustinus sendiri, tentu saja. Lalu ada Laro Jaong, Reba GT, Arnold Adoe, dan Anderias Neno Salukh. Mari kita baku pikir.
Kita bisa memilih untuk sibuk membicarakan persoalan nasional dan bahkan internasional, atau mendiskusikan persoalan sosial dasar di belakang rumah kita.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H