Petani miskin itu sudah sejak zaman kolonial. Berlanjut ke masa pemerintahan Soekarno, ditandai ikon "marhaen". Lanjut ke masa pemerintahan Soeharto sampai Jokowi sekarang. Selamanya jadi komoditas politik masiman.
Jumlah penduduk miskin memang cenderung menurun. Tapi tahun ini, karena terdampak pandemi Covid-19, jumlahnya diprediksi akan meningkat lagi.
Gejala Involusi Pertanian
Rekan SA mengidentifikasi tiga penyebab kemiskinan petani padi Manggarai.
Pertama, faktor penggunaan berlebih pupuk kimia yang menyebabkan tanah rusak sehingga produktivitasnya turun. Kedua, faktor serangan hama dan prnyakit yang tak terkendali. Dan ketiga, ketakpastian iklim, kekeringan dan kebanjiran parah.
Tiga faktor itu sebenarnya cekaman biotik dan abiotik bisa diatasi dengan inovasi teknologi budidaya padi. Tapi entah kenapa perkembangan teknologi pertanian begitu lamban, atau mungkin stagnan di Manggarai.
Produktivitas padi sawah di Manggarai hanya 4-5 ton GKG/ ha, di bawah rata-rata nasional 5.2 ton GKG/ha. Sebagian areal hanya bisa dipanen sekali setahun. Begitupun, Â Manggarai Raya adalah lumbung beras NTT.
Akar persoalan kemiskinan petani padi di Manggarai mungkin harus dicari pada sistem penguasaan lahan. Di sana berlaku lembaga lodok-lingko, membagi lahan berdasar jari-jari (moso).
Sehingga, satu hamparan (lingko) terbagi-bagi menjadi sejumlah potongan (lodok). Kira-kira bentuknya seperti jaring laba-laba atau pizza dipotong-potong.
Ukuran potongan "pizza sawah" itu (ukuran moso, jari, dari titik tengah), menggambarkan status sosial dan besarnya hak serta tanggungan petani. Jadi ada prinsip keadilan juga di situ. Menurut ukuran sosial setempat.
Tapi saya duga justru di situlah duduk masalah strukturalnya. Luas sawah (lingko) tetap tapi jumlah penduduk (rumahtangga) bertambah terus.
Akibatnya. luasan lodok (potongan "pizza sawah") semakin menyempit. Dengan kata lain terjadi proses guremisasi. Guremisasi adalah proses pemiskinan.