Saya ambil sebuah berita hangat, "Not allowed to do testing: governor says Jakarta was tracking COVID-19 cases in January" (smh.com, May 7, 2020).Â
Itu berita tentang perbedaan sikap Gubernur Anies dengan Pemerintah Pusat tentang penanggulangan pandemi Covid-19 di Jakarta khusunya dan Indonesia umumnya.
Isi berita itu itu bukan hal baru. Hanya pengulangan uneg-uneg lama Anies kepada "orang luar". Â Uneg-uneg berupa klaim bahwa Gubernur Jakarta lebih antisipatif memitigasi Covid-19 ketimbang Pemerintah Pusat dan tidak diijinkan Menkes melakukan tes Covid-19.Â
Juga ada klaim bahwa jumlah korban meninggal terkait Covid-19 lebih besar dari laporan resmi Pemerintah Pusat dan bahwa pandemi belum akan mereda Juni 2020 seperti diyakini Pemerintah Pusat.Â
Ditambah kritik Anies pada Jokowi yang dinilainya terlambat menetapkan larangan mudik.
Apakah klaim Anies benar atau salah itu soal lain.  Bukan urusan artikel ini. Saya hanya mau buat simulasi perbedaan opini tentang sikap Anies - sikap  tak-setuju pada Pemerintah Pusat - jika dianalisis berdasar predisposisi yang berbeda.
Predisposisi pertama: pemerintah pusat dan daerah harus satu kata dan langkah dalam penanggulangan pandemi Covid -19 .Â
Berangkat dari predisposisi ini penulis akan mengarahkan opininya pada kesimpulan bahwa Anies Baswedan telah membangkang dan mendiskreditkan Pemerintah Pusat. Â
Predisposisi kedua: Â pemerintah daerah harus diberi ruang kreasi dan inovasi dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Â
Berangkat dari predisposisi ini penulis akan mengarahkan opininya pada kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat telah menekan dan membatasi ruang gerak Anies Baswedan dalam penanggulangan Covid-19 khususnya di DKI Jakarta.
Predisposisi ketiga: Â legitimasi pemerintah pusat lemah di hadapan pemerintah daerah.Â