Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Artikel Opini Tak Pernah Netral

12 Mei 2020   13:12 Diperbarui: 12 Mei 2020   16:56 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Opini itu berpihak (Foto: mindgameindo.wordpress.com)

Jika ada penulis artikel opini, di media apa pun, mengklaim opininya netral dan objektif maka dia sedang berdusta atau tidak paham hakekat opini.

Sebuah artikel opini adalah produk subjektivitas. Karena itu dia tidak netral. Mustahil suatu opini, pemikiran seseorang tentang satu isu, subjektif sekaligus netral secara bersamaan.

Mengapa begitu? Karena subjektivitas mengandaikan suatu predisposisi, kecenderungan atau tendensi, dalam benak seseorang. Predisposisi itulah yang menuntun arah dan proses penulisan opini.

Predisposisi mengarahkan penulis memilih sudut pandang atas sebuah isu. Sudut pandang nenuntun pada pilihan konsep dan teori, atau kerangka pikir.  Lalu kerangka pikir menuntun pengumpulan, pengolahan dan analisis data.

Mungkin ada orang beranggapan, dengan mengikuti prosedur di atas dia akan mendapatkan data obyektif.  Karena itu opininya menjadi objektif, netral tidak memihak.

Salah!  Jika pengumpulan data sudah dituntun predisposisi tertentu, maka perolehan data pasti bermuatan subjektivitas. Jadi bagaimana bisa data mendadak objektif?

Ambil contoh isu kinerja mitigasi banjir Jakarta oleh Gubernur DKI Anies Baswedan. Gagal atau sukses? 

Kalau Poltak punya predisposisi "Anies tidak layak menjadi gubernur" maka dia akan cenderung mengumpulkan data yang mendukung kesimpulan "Anies gagal". Sebaliknya berlaku begitu juga. Jadi, masih mau bilang data itu objektif?

Bisa saya katakan,  syarat obyektivitas dan netralitas yang dikenakan orang pada opini tak lebih dari sebuah mitos. Ada di alam khayal, tiada di alam nyata.

***
Untuk menunjukkan bahwa opini itu subjektif, karena itu tidak netral melainkan memihak, saya akan simulasikan kemungkinan opini yang dibangun penulis berdasar sebuah berita.  

Saya ambil sebuah berita hangat, "Not allowed to do testing: governor says Jakarta was tracking COVID-19 cases in January" (smh.com, May 7, 2020). 

Itu berita tentang perbedaan sikap Gubernur Anies dengan Pemerintah Pusat tentang penanggulangan pandemi Covid-19 di Jakarta khusunya dan Indonesia umumnya.

Isi berita itu itu bukan hal baru. Hanya pengulangan uneg-uneg lama Anies kepada "orang luar".  Uneg-uneg berupa klaim bahwa Gubernur Jakarta lebih antisipatif memitigasi Covid-19 ketimbang Pemerintah Pusat dan tidak diijinkan Menkes melakukan tes Covid-19. 

Juga ada klaim bahwa jumlah korban meninggal terkait Covid-19 lebih besar dari laporan resmi Pemerintah Pusat dan bahwa pandemi belum akan mereda Juni 2020 seperti diyakini Pemerintah Pusat. 

Ditambah kritik Anies pada Jokowi yang dinilainya terlambat menetapkan larangan mudik.

Apakah klaim Anies benar atau salah itu soal lain.  Bukan urusan artikel ini. Saya hanya mau buat simulasi perbedaan opini tentang sikap Anies - sikap  tak-setuju pada Pemerintah Pusat - jika dianalisis berdasar predisposisi yang berbeda.

Predisposisi pertama: pemerintah pusat dan daerah harus satu kata dan langkah dalam penanggulangan pandemi Covid -19 . 

Berangkat dari predisposisi ini penulis akan mengarahkan opininya pada kesimpulan bahwa Anies Baswedan telah membangkang dan mendiskreditkan Pemerintah Pusat.  

Predisposisi kedua:  pemerintah daerah harus diberi ruang kreasi dan inovasi dalam penanggulangan pandemi Covid-19.  

Berangkat dari predisposisi ini penulis akan mengarahkan opininya pada kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat telah menekan dan membatasi ruang gerak Anies Baswedan dalam penanggulangan Covid-19 khususnya di DKI Jakarta.

Predisposisi ketiga:  legitimasi pemerintah pusat lemah di hadapan pemerintah daerah. 

Berangkat dari predisposisi ini penulis akan mengarahkan opininya pada kesimpulan bahwa sikap Anies Badwedan adalah puncak gunung es ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat.

Cukuplah tiga predisposisi, atau subjektivitas, itu untuk menunjukkan bahwa sebuah opini tidak mungkin netral sekalipun berangkat dari satu isu atau fakta yang sama.

Alasannya karena ada kepentingan subyektif di balik setiap opini. Karena itu dia berpihak. 

Dalam simulasi di atas berturut-turut kepentingan yang mendasari adalah tegaknya sentralisasi kekuasaan, desentralisasi kekuasaan, dan  delegitimasi kekuasaan pusat.

***
Dengan artikel ini, saya tak bermaksud memaksakan pandangan bahwa artikel opini tidak pernah netral. Bagi saya begitu, bagi orang lain tidak.

Hanya saja, jika masih berkeras beranggapan artikel opini harus netral, objektif, tidak berpihak, maka silahkan mendefinisikan sendiri (apakah) "opini" (itu).  

Selama opini dimengerti sebagai pemikiran atau argumentasi subyektif, maka tidak logis mengklaimnya obyektif dan netral.

Intensi utama artikel ini adalah dorongan menulis opini kepada rekan-rekan penulis, khususnya kaum millenial.

"Ayo, tulislah opini menurut caramu sendiri. Jangan engkau terbelenggu oleh borgol obyektivitas dan netralitas. Itu adalah mitos. Semakin subjektif dan berpihak opinimu, semakin tinggi nilainya."

Demikian pandangan saya, Felix Tani, terbuka untuk didebat.(*)

*Sempatkan jugalah membaca: Opini Itu Logis, Berpihak dan Indah  (K.11/5/2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun