Saya pikir Mas SH sedikit terjebak oleh "romantisme masa lalu", 5-10 tahun lalu, ketika interaksi antar Kompasianer begitu riuh-rendah. Â Tidak saja di kolom komentar, tapi juga berbalas artikel. Â
Masanya sudah berbeda, Mas SH. Â Sekarang ini Kompasiana didominasi generasi milenial. Generasi ini menurut saya, dan ini boleh dibantah, cenderung mengejar eksistensi lewat aksi instan. Yang dikedepankan aksi (termasuk reaksi), bukan interaksi.
Itu pengaruh budaya komunikasi digital. Generasi milenial gandrung bermedsos-ria demi eksistensi sosial. Â Yang penting tampil ke depan dan dikenal secara cepat. Â Menciptakan konten clickbait secara instan adalah cara terbaik.
Karena mengutamakan aksi, misalnya menulis artikel kontroversial, dan mengesampingkan interaksi, maka Kompasianer millenial ini cenderung menawarkan artikel sendiri, dan kurang mengonsumsi artikel teman. Â
Pokoknya tulis artikel yang menurutnya "hebat", padahal cuma "sampah peradaban" (istilah Mas YB). Lalu mereka diam menunggu orang lain membaca dan mengomentari artikelnya.Â
Ketika pembaca hanya segelintir, tanpa penilaian dan komentar pula, karena artikelnya "HL" (hanya lewat), lalu mengumpat "Payah Kompasiana!" Â
Aneh berharap orang lain akan membaca dan menanggapi artikel saya, pada hal saya sendiri tidak pernah atau jarang membaca dan menanggapi artikel orang lain. Â
Ingatlah di Kompasiana itu berlaku paham egalitarian. Â Tidak ada Kompasianer elite dan pinggiran. Semua sama, setara. Â
Jadi saya tidak boleh menganggap diri istimewa sehingga Kompasianer lain harus baca artikelku. Â
Tanpa interaksi antar Kompasianer, maka sempitlah kesempatan diskusi yang saling-mencerdaskan. Aksi searah, menulis artikel lalu pergi, adalah sikap "katak dalam tempurung".Â
Saya tidak akan bertambah cerdas dengan sikap semacam itu. Â Kecuali cuma (seperti katak) "menggelembungkan diri sendiri" sambil berseru (dalam tempurung) "Aku yang terbesar" (lalu meletus).