Kedua, Â "perhambaan literasi", menghamba pada sesosok tuan sehingga artikelnya selalu memuja tuannya seraya menjatuhkan lawannya. Menyembunyikan data dan menebar hoaks adalah konsekuensi "perhambaan" semacam ini.
Ketiga, yang tidak disampaikan Mas YB, mungkin karena tidak tega, Â "penggadaian literasi". Â Menulis demi uang. Â Karena itu harus menulis sebanyak mungkin artikel dalam waktu singkat, tanpa perduli mutu. Yang penting judulnya clickbait, Â bikin gatal ujung jari pembaca.
Begitulah. Â Jika saya pemalas, maka saya cuma pantas menjadi hamba. Jika saya hamba maka saya menggadaikan harga diri demi sekadar imbalan. Â
Saya, seorang "pemalas yang menghamba dan menggadaikan harga diri" berisiko tinggi terpapar "virus instan". Indikasinya saya akan menulis artikel "cepat saji" yang reproduktif, kelas "opo nie". Â Istilah Mas YB lebih keras, "sampah peradaban".
Jika artikel saya tergolong "sampah peradaban" maka apa bedanya saya dengan Youtuber Ferdian Paleko yang menaik-tayangkan konten "(nasi bungkus) sampah". Â
Saya tak hendak bermegah diri seperti seorang Farisi yang dengan pongah bilang "Saya tidak seperti pemungut cukai yang penuh dosa itu." Jujur, saya juga kerap terpapar "virus instan" lalu menulis artikel "opo nie".
Sayangnya, saya harus katakan pula, Â di Kompasiana kini saya punya banyak teman yang sama terpapar "virus instan" lalu menulis artikel "opo nie" dengan kekerapan tinggi. Â
Itu sebabnya di awal saya berhipotesis Kompasiana sedang terpapar "pandemi virus instan". Â
Karena tak sudi terpapar "virus instan", tepatnya tak mau ikutan "dungu", maka para Kompasianer menerapkan "social distancing". Mengurangi kunjungan ke lapak sesama Kompasianer. Â Akibatnya jumlah pembaca artikel menurun drastis.
Dari Interaksi ke Aksi
Salah satu keluhan Mas SH adalah soal minimnya interaksi antar Kompasianer sekarang ini. Â
Jangankan saling-tanggap dalam bentuk artikel, saling komentar dalam artikel juga semakin jarang. Sudah bagus kalau masih sudi meninggalkan jejak nilai "aktual", "menarik" dan sebagainya itu.