Samosir waktu itu ditetapkan menjadi satu onder-afdeling, beribu-kotakan Pangururan, di bawah Afdeling Bataklanden. Â
Rupanya penjajah Belanda merasa terganggu dengan tanah genting, semacam leher atau tangkai selebae 1.5 kilometer, yang menghubungkan daratan Samosir dengan Pusukbuhit. Â Â
Karena itu, di bawah komando langsung L.C. Welsink, Residen Tapanuli waktu itu, Pemerintah Kolonial Belanda menggali terusan di tanah genting itu. Penggalian terusan dilakukan dengan kerja rodi, mengerahkan penduduk sekitar, dengan pengawalan tentara Belanda. Â Â
Penggalian terusan pada waktu itu mendapat tentangan dari penduduk Samosir. Sebab dalam kepercayaan mereka tanah genting itu adalah jalan lintas roh dari Pusukbuhit ke Samosir dan sebaliknya. Â
Tanah itu juga diyakini sebagai tali penghubung atau pengikat Samosir  dengan Pusukbuhit.  Memenggal tanah itu bisa menyebabkan para roh marah dan membuat Samosir tenggelam.
Welsink melawan mitos lokal itu dengan secara sengaja selalu berada di tanah Samosir selama masa penggalian terusan. Pekerjaan penggalian dimulai tahun 1905 dan selesai tahun 1908. Â Welsink membuktikan Samosir tidak tenggelam akibat penggalian terusan. Â
Satu hal yang pasti, pada tahun 1908 itu hamparan Danau Toba bagian barat menjadi tersambung oleh terusan dari selatan ke utara, ke Tao Silalahi. Dengan demikian Samosir dikelilingi oleh air, sehingga secara geografis resmi menjadi sebuah pulau. Â Itu sebabnya dikatakan Pulau Samosir itu diciptakan oleh Belanda.
Sebuah jembatan kemudian dibangun di atas terusan  untuk menghubungkan Pangururan dengan kawasan Pusukbuhit. Dari bawah jembatan, kapal bisa melintas mengangkut tentara dan logistik Belanda ke arah utara (Dairi dan Karo) atau sebaliknya ke selatan (Toba).
Orang Samosir menyenut terusan itu "Tano Ponggol" (Tanah Putus) tetapi nama sebenarnya adalah Terusan Wilhelmina. Nama ini diberikan ketika pada tahun 1913 terusan itu dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun kepada Ratu Wilhelmina yang sekaligus meresmikannya secara simbolik.
Saya sudah pernah menulis sejarah Terusan Wilhelmina ini tahun 2016 ("Orang Batak dan Terusan Wilhelmina", kompasiana.com, 23/10/2016). Â Dalam tulisan itu saya sampaikan kondisi terusan yang sudah menyempit dan dangkal, sehingga tidak dapat dilayari kapal danau ukuran besar.Â