Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Kutukan Patriarki", Lelaki Batak Itu Berat!

14 Februari 2020   06:45 Diperbarui: 15 Februari 2020   10:37 6214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi pernikahan Batak Toba (Foto: thebridedept.com)

Menjadi lelaki Batak itu berat. Wajib nikah dan berputra. Demi eksistensi marga.  Kalau tidak, dia layaknya tikar lapuk. Kuatkah para lelaki Batak?

Pernyataan lelaki Batak wajib nikah dan berputra mungkin terkesan mengada-ada. Sebab bukankah lazim setiap lelaki di muka bumi ini, setelah akil baliq, didorong untuk menikah?  

Pernikahan dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan dan perkembangan eksistensi suatu kelompok sosial melalui proses reproduksi.  Agar suatu kelompok sosial, misalnya keluarga, tidak punah karena suksesi demografisnya terputus.

Target setiap kelompok sosial, mulai dari satuan sosial keluarga, komunitas genealogis, sampai suku bangsa adalah pertumbuhan skala demografis dan eksistensi sosial.  Menjadi keluarga besar, komunitas besar, ataupun suku bangsa besar.

Orang Batak (Toba) sejak masa pra-kolonial, juga sangat paham arti penting suksesi demografis sebagai landasan eksistensi sosial.

Sialnya untuk lelaki Batak, tanggungjawab pelestarian dan penumbuhan demografis dan sosial Batak itu ternyata ditumpukan pada gendernya.  Bukan pada gender perempuan.  

Mengapa begitu? Saya akan coba jelaskan duduk perkaranya di bawah ini.


***

Terus terang, saya harus bilang, beban tanggungjawab lelaki Batak untuk pelestarian dan penumbuhan demografis dan sosial itu adalah "kutukan patriarki".

Begini. Patriarki itu menempatkan lelaki sebagai pemegang kuasa utama baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.  

Salah satu konsekuensi patriarki adalah patrilineal, sistem kekerabatan menurut garis darah lelaki. Ini untuk memastikan kuasa di ragam bidang tadi tetap lestari atau berkelanjutan di tangan lelaki.

Itulah yang terjadi pada lelaki Batak.  Kutukan patriarki.  Wajib menjadi penerus marga. Artinya, wajib nikah dan punya anak lelaki, bakal penerus marganya.    

Karena itu pula dalam upacara adat nikah Batak, pihak "hula-hula" (pemberi isteri) utamanya selalu menyampaikan harapan agar kedua mempelai dikaruniai banyak anak.

Doa "hula-hula"yang paling terkenal dalam bentuk "umpasa" (petitih) adalah: 

"Laklak diginjang pintu, singkoru ginolomgoloman; Maranak ma hamu sampulu pitu marboru sampulu onom.

Artinya: "Buku kulit kayu di atas jenang pintu, biji jali-jali dalam genggaman. Semoga kalian berputra tujuh belas berputri enam belas."

Perhatikan jumlah anak lelaki diharapkan lebih banyak.  Implisit itu mendoakan agar ukuran kerabat segaris darah lelaki semakin besar.  

Kalau dipikir-pikir, Presiden Soeharto dulu tidak ada takut-takutnya pada orang Batak. Soalnya dia menganjurkan "dua anak cukup, laki perempuan sama".  Bah, beda itu, Pak Presiden!

Untunglah tidak ada orang Batak yang berani mendebat langsung Presiden Soeharto.  Tapi banyak yang tak sudi mengikuti anjurannya.

Lagi pula orang Batak itu  punya filosofi "anakhonhi do hamoraon di ahu", anakku itulah kekayaanku. Semakin banyak anak, semakin kaya. Jadi mana mungkinlah Presiden Soeharto melarang orang Batak menjadi kaya.

Begitulah kutukan patriarki itu. Wajib kawin, wajib berputra. Mengerikan, bukan?

Ya, memang mengerikan.  Andaikan lelaki Batak menikah tapi tak punya anak, atau punya anak tapi perempuan semua, maka putus jugalah garis turunannya.  

Jika lelaki menikah tanpa anak itu meninggal dunia, maka orang menyebutnya  "mate punu", tanpa keturunan.  Putus sudah silsilahnya.  Ini jenis kematian yang paling ditakuti lelaki Batak yang sudah menikah.

Jika lelaki yang hanya punya anak perempuan meninggal, putus juga silsilahnya.  Tapi tidak separah "mate punu".  Sebab anak perempuannya memberi status "hula-hula" padanya.  Jadi "marga"-nya masih disebut orang dalam relasi sosial adat Batak.

Tambahan, ada pula preseden historis dari turunan Si Raja Lontung. Dua dari sembilan marga kelompok Lontung, yaitu Sihombing dan Sinamora adalah "boru" (perempuan) yang dianggap "anak" (lelaki).  

Nilai persamaan "boru" dan "anak" itu dinyatakan dalam "umpasa" berikut: 

"Tinallik randorung bontar gotana, dos do anak dohot boru nang pe pulik margana, ai dompak marmeme anak, dompak do tong marmeme boru, andung ni anak sabulan di dalan, andung ni boru sataon."

Artinya: "Lamtoro ditakik putih getahnya, putra dan putri sama walau lain marga, sebab putra diloloh putri sama diloloh, ratapan putra sebulan ratapan putri setahun."

***

Tapi yang paling parah dan merana adalah manakala lelaki Batak tak menikah.  Bukan saja dia tak akan pernah punya anak lelaki penerus marganya. Tetapi dia juga tidak diperhitungkan dalam struktur masyarakat adat Batak.  

Sebab jika seorang lelaki Batak tidak nikah, maka dia tidak akan diadatkan. Maka dia tidak akan pernah mendapatkan status "hula-hula" (pemberi isteri) ataupun "boru" (penerima isteri). Secara adat dia terpinggirkan.

Jika lelaki tak menikah itu meninggal dunia, maka dia disebut "mate ponggol", mati patah. Belum sempat "bertunas" (menikah dan berketurunan) sudah mati.  Otomatis silsilahnya putus.  Dia mati tanpa jejak.

Secara adat, dalam pandangan orang Batak, lelaki tak menikah, atau perjaka tua, tidak ada nilai sosialnya.  Karena di tak menyumbang pada keberlanjutan dan perkembangan demografis dan sosial orang Batak.

Jadi di sini tidak berlaku slogan "I'm single, I'm happy" tetapi "I'm single, I'm useless."  Paling tidak, memang, organ reproduksinya tiada guna.

Saya pikir tidak ada penggambaran nasib "perjaka tua"  yang lebih indah sekaligus menyayat hati dibanding syair lagu "Nahinali Bangkudu" gubahan Nahum Situmorang, komponis lagu Batak paling sohor.

Begini syair selengkapnya:

"Na hinali bangkudu da sian bona ni bagot. Bohama ho doli songon boniaga so apot. Ue amang doli o amonge.

Boniaga so apot langku do pe basa onan. Bohama ho doli tardongkon ho parsombaonan. Ue amang doli o amonge.

Atik parsombaonan boi dope pinele. Bohama ho doli songon buruk-buruk ni rere. Ue amang doli o amonge.

Matema ho amang doli. Mate di paralang-alangan da amang. Mate di paraul-aulan."

Dengan risiko kehilangan keindahan nilai puitisnya, terjemahan bebas syair lagu tersebut adalah sebagai berikut:

"Membelah batang nira didapat ulat sagu.  Ibarat sisa dagangan, itulah dirimu jejaka.  Oh perjaka oh lelaki.

Tapi sisa dagangan masih laku dijual pekan depan. Ibarat tempat angker, itulah dirimu jejaka. Oh perjaka oh lelaki.

Tapi tempat angker masih dapat dipuja.  Ibarat tikar lapuk,  itulah dirimu jejaka. Oh perjaka oh lelaki.  

Berpulanglah dikau jejaka.  Berpulang tiada turunan. Berpulang tiada jejak."

Perjaka tua Batak, awalnya, diibaratkan Nahum sebagai barang dagangan yang tak laku.  Tapi itu terlalu baik.  Sebab dagangan sisa masih mungkin dijual pada hari pekan berikutnya.

Karena itu Nahum kemudian mengibaratkan perjaka tua itu dengan tempat keramat yang sepi, dihindari manusia.  Tapi itu juga masih terlalu baik. Karena masih ada orang yang memberi sajen ke tempat keramat.

Akhirnya Nahum mengibaratkan perjaka tua itu dengan tikar lapuk, usang dan busuk. Tempat yang pantas untuknya adalah lubang sampah. Sadis banget.

Siapa yang tahu bahwa lagu "Nahinali Bangkudu" itu digubah Nahum Situmorang untuk meratapi dirinya sendiri?  Dalam kehidupannya (1908-1966) Nahum tidak pernah menikah. Menjelang akhir hayatnya tahun 1966, Nahum menggubah lagu sedih yang teramat indah itu.  

Renungkanlah syair lagu itu. Tidakkan kutukan patriarki itu sungguh mengerikan untuk seorang lelaki Batak? Sungguh berat, memang, menjadi lelaki Batak.

Sekadar informasi, "Nahinali Bangkudu" adalah lagu yang paling ditakuti lelaki Batak.

***

Untunglah akhir 1934 Pastor Sybrandus van Rossum, OFM Cap., missionaris Katolik, menyebarkan agama Katolik di Tanah Batak. Sejak itu lelaki Batak punya rujukan tentang "lelaki perjaka mulia".  Itulah pastor, imam Katolik.  Kemudian juga frater dan bruder.  

Pastor, frater dan bruder hidup selibat demi karyanya di ladang Tuhan.  Hidup mereka mulia dan dihormati orang Batak.   Walau tidak menikah dan karena itu tak punya keturunan biologis.

Tapi orang Batak memang tak hilang akal untuk sindiran.  Terhadap lajang tua Batak tetap dibilang, "Bah, bukan pastor, bukan frater, bukan bruder tapi tak nikah. Jadi, apa kau.  Berkarat nanti barang itu, Lae!"  

Waduh, kutukan patriarki Batak memang "ga ada matinye".  Tanggungkanlah deritamu, wahai para lelaki Batak.

Demikianlah catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, korban kutukan patriarki Batak tapi santuy aja.(*)

Catatan: Bagi yang ingin mendengar lagu "Nahinali Bangkudu", saya sarankan untuk mendengarkan versi Victor Hutabarat. Menurut saya, interprestasinya paling pas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun