Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tragedi Jakarta dan Komedi Anies Baswedan

21 Januari 2020   20:51 Diperbarui: 22 Januari 2020   05:40 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret banjir di Jakarta (Foto: kompas.com)

Jakarta hari-hari ini adalah sebuah tragedi.  Berawal dari "Tragedi Pilgub Jakarta 2017", berlanjut ke "Tragedi Banjir Jakarta 2020".  Lalu, nanti, berujung entah dengan tragedi apa lagi.  Ironisnya, tragedi itu direspon Gubernur Jakarta Anies Baswedan dengan narasi komedi yang menyesakkan.

"Tragedi Pilgub Jakarta 2017" adalah peristiwa tragis kekalahan calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok dari pesaingnya Anies Baswedan.  Kalah bukan disebabkan keunggulan konsep, kapabilitas, dan integritas Anies untuk membangun Jakarta. Tapi oleh narasi "Ahok penista Islam" yang diberondongkan pada Ahok pada putaran kedua kampanye, menggenapi narasi "Ahok kafir" yang ditebar pada putaran pertama kampanye.  

Narasi "Ahok penista Islam" dibangun berdasar frasa "dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51" dalam pidato Ahok di Pulau Seribu pada 27 September 2016. Ditambah narasi "Ahok kafir", maka sebuah narasi mengerikan dihasilkan, "Ahok kafir penista Islam".

Karena "Ahok kafir penista Islam" maka, pertama, dia tidak boleh dipilih menjadi Gubernur Jakarta yang warganya mayoritas Islam dan, kedua, dia harus dipenjarakan karena telah menista agama Islam.

Itulah pesan inti aksi unjuk rasa akbar umat Islam pada 2 Desember 2016, dikenal sebagai Aksi 212, di Lapangan Monas Jakarta.  Sepanjang sejarah Pilkada di Indonesia, inilah aksi unjuk rasa terbesar untuk "mengalahkan" seorang calon gubernur petahana. Aksi yang tidak saja melibatkan warga Jakarta tetapi juga, mungkin mayoritas, warga dari luar Jakarta.

Terbukti, Aksi 212 sangat efektif. Sejak hari aksi itu, Ahok telah dipersepsikan sebagai "musuh Islam" yang haram hukumnya dipilih menjadi Gubernur Jakarta.  Tidak perduli sehebat apapun konsep, kapabilitas, dan integritasnya.  Tak perduli apapun yang manfaat yang telah diberikannya untuk Jakarta.  

Sementara Anies Baswedan, seperti dikatakan Jubir PA 212 Novel Bamukmin, adalah "simbol perjuangan Islam" (1). Kemenangannya, kata Jubir FPI Slamet Maarif, adalah kemenangan Islam (2).  Itu sudah  lebih dari cukup sebagai alasan  memilih Anies menjadi Gubernur Jakarta.  

Sejarah Jakarta mencatat, narasi "kemenangan Anies kemenangan Islam" itu menjadi kenyataan. Sejumlah 58 persen warga pemilih Jakarta, mayoritas penganut Islam,  memilih Anies menjadi  Gubernur Jakarta  periode 2017-2022.  

Anies menang terutama bukan karena alasan konsep, kapabilitas, dan integritasnya secara objektif jauh lebih hebat dibanding Ahok. Tapi terutama karena secara subyektif,  mayoritas dari 58 persen pemilih itu menolak memilih seorang "kafir penista Islam" menjadi gubernurnya. Mereka memilih gubernur yang seiman (3).

Kemenangan Anies itu, sejatinya, adalah  awal dari "Tragedi Banjir Jakarta 2020". Pangkal soalnya, program mitigasi banjir yang diusung Anies adalah anti-tesis dari program Ahok.  Khususnya program inti revitalisasi sungai-sungai Jakarta. Ahok menjalankan program normalisasi sungai sebagai mitigasi banjir, sedangkan Anies menggagas program naturalisasi sungai.

Anies menolak program normalisasi sungai karena berimplikasi pelebaran dan penurapan bantaran serta, ini yang paling berat, berdampak relokasi warga bantaran ke rumah susun. Bagi Anies relokasi warga itu berarti penggusuran. Itu bertentangan dengan janjinya untuk  "membangun tanpa menggusur".  

Maka lahirlah ide naturalisasi sungai dari Anies. Ide pokoknya adalah pemulihan ekosistem  sungai pada wujud alaminya, berbantaran hijau lebar tanpa perlu menggusur warga, cukup digeser saja.

Gagasan naturalisasi itu,  dipetik secara salah kaprah dari kasus restorasi sungai dalam rangka rehabilitasi Taman Bishan di hulu Sungai Kallang Singapura, untuk kondisi ekologis Jakarta adalah utopia. Singapura tiba pada level itu setelah sukses mitigasi banjir dengan program "Bersih Sungai", serupa dengan program normalisasi sungai yang telah dijalankan Ahok (4).

Perlu diketahui, masterplan mitigasi banjir yang dijalankan Ahok itu sudah ada sejak 1973. Lebih dulu dibanding Singapura (1977).  Dengan normalisasi sungai, termasuk di dalamnya  pembangunan sodetan Ciliwung-BKT dan pelebaran waduk,  Ahok sebenarnya hanya menyempurnakan dan mengeksekusi program mitigasi banjir yang sudah digagas sejak era Gubernur Ali Sadikin (1966-1977).

Tapi Anies telah memilih langkah naturalisasi sungai, termasuk di dalamnya  drainase vertikal dengan target 1.8 juta lubang drainase di Jakarta. Targetnya sungai-sungai Jakarta dikembalikan ke ekosistem aslinya, lebar dengan bantaran landai (bukan turap beton) yang hijau oleh rerumputan, perdu dan pepohonan. Airnya jernih penuh ikan berenang kian kemari.  Bila hujan turun, airnya masuk ke bumi lewat 1.8 juta lubang drainase vertikal. Sebagian lagi tertahan oleh vegetasi sungai "natural". Sehingga Jakarta bebas dari banjir.  

Itulah bagian dari "Jakarta Baru" yang dijanjikan Anies.  Jakarta yang "maju kotanya bahagia warganya".  Tapi naturalisasi sungai di Jakarta adalah sebuah utopia karena dua alasan, ekologis dan sosiologis.  

Pertama, alasan ekologis. Mustahil memulihkan ekosistem sungai-sungai Jakarta pada wujud "alami ala Taman Bishan Singapura".  Jakarta adalah dataran rendah pesisir laut. Karena itu ekosistem asli sungai-sungainya adalah hutan bakau (di muara) dan rawa. Bakau menahan banjir rob dan rawa menampung curah hujan lebat dan debit berlebih kiriman dari hulu.  

Kedua, alasan sosiologis,  spesifik sosilogi politik.  "Naturalisasi" pasti berdampak penggusuran besar-besaran warga pemukim bantaran sungai.  Ambil contoh Sungai Ciliwung.  Jika naturalisasi dilaksanakan, maka  masing-masing 20 meter  bantaran kiri dan kanan sungai sepanjang 33 km harus dibersihkan dari okupansi. Hitung  berapa ribu rumah dan keluarga yang harus digusur. Belum lagi menghitung penggusuran di bantaran 12 sungai lainnya.  Sedahsyat apa jadinya ingkar janji Anies untuk membangun tanpa menggusur?

Tapi Anies adalah tipe persona yang pandai menata kata (narasi) untuk menutupi kemalasan  menata kota (realisasi). Pada  26 April 2019, merespon banjir Jakarta akibat tingginya curah hujan di Bogor dalam dua hari sebelumnya,  Anies dengan penuh keyakinan mengatakan naturalisasi sungai sedang dilaksanakan dan hasilnya akan terlihat akhir 2019 (5).

Logikanya, jika klaim Anies benar, maka di akhir 2019 warga Jakarta akan disuguhi lansekap daerah aliran 13 sungai dengan ekosistem  natural atau alami.  Faktanya, ekosistem sungai tidak berubah alami, tapi menjadi lebih buruk dibanding masa pemerintahan Ahok. Naturalisasi tidak dijalankan, normalisasi dihentikan.  Sodetan Ciliwung-BKT tak berlanjut.  Pembersihan sungai dan waduk kota tidak optimal.  Realisasi drainase vertikal, atau sumur resapan, sepanjang 2019  baru sekitar 1,000 lubang (6).

Jelas sekali bahwa jarak antara "narasi mitigasi banjir" dan "realisasi mitigasi banjir" Jakarta terlalu lebar di tangan Gubernur Anies. Maka ketika curah hujan ekstrim (di atas 150 mm) menguyur Jakarta sepanjang malam peralihan tahun 2019 ke 2020, kota ini langsung  tergenangi banjir tinggi sepanjang 1-2 Januari 2020 pada 60-an titik lokasi. Sejumlah 31,232 orang warga harus mengungsi. Korban jiwa tercatat 19 orang (7).

Kecuali dalam hal jumlah korban jiwa, banjir 1 Januari 2015 sebenarnya tidak separah banjir 1 Januari 2020.  Tapi label tragedi layak disematkan pada banjir 1 Januari 2020, karena ada waktu 2 tahun (2018-2019) bagi Anies untuk melakukan mitigasi, tapi dia tidak melakukannya di lapangan. Padahal risiko banjir tiap musim hujan di awal tahun sudah diperkirakan. Tapi Anies, dengan kealpaannya dalam mitigasi, justru membiarkan "tergenang kotanya sengsara warganya".  Tidakkah itu tragis?

***

Namun pada narasi Anies Baswedan, banjir Jakarta 1 Januati 2020 bukan sebuah tragedi, melainkan komedi.   Bukan jenis komedi yang membuat pendengar tertawa lepas keluar bikin lega. Melainkan komedi yang membuat pendengar tertawa ke dalam bikin sesak.  

Komedi Anies sudah dimulai sejak kampanye Pilgub 2017 saat mengatakan di mana-mana di seluruh dunia air hujan turun dan masuk ke dalam bumi, bukan di buang ke laut lewat gorong-gorong raksasa.  Anies mungkin tidak pernah serius belajar Ilmu Bumi, sehingga tidak tahu bahwa laut adalah bagian bumi yang paling rendah dan puncak gunung adalah bagian tertinggi.  Juga tidak tahu bahwa air selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Termasuk meresap ke bawah permukaan tanah selama struktur batuan belum jenuh air.  

Tapi "narasi air hujan masuk bumi" itu sejatinya adalah argumen dasar  Anies  menolak normalisasi sungai, sekaligus dasar ide naturalisasi sungai-sungai Jakarta.  Dia merujuk restorasi hulu Sungai Kallang Singapura, yaitu Taman Bishan, sebagai kisah sukses. Tapi ini rujukan yang salah, sebab restorasi sungai Kallang di Taman Bishan bukan program mitigasi banjir, tapi proyek taman kota ramah ekologis.  

Ketika awal April 2019 Anies bilang   naturalisasi sungai Jakarta sedang dijalankan dan akan terlihat hasilnya akhir tahun, maka dia tidak saja sedang mengumbar utopia, tapi juga mengumbar janji yang menjadi "kebohongan".  Sebab jika Taman Bishan yang menjadi rujukan, maka perlu diketahui restorasi ruas Sungai Kallang sepanjang 2.7 km itu makan waktu 4 tahun (2009-2012). Jika Anies mengklaim revitalisasi 13 sungai di Jakarta selesai akhir 2019, maka dia mungkin adalah reinkarnasi Bandung Bondowoso.  

Bukan hanya naturalisasi sungai yang tak dijalankan, drainase vertikal juga tidak signifikan. Dari kebutuhan 1.8 juta lubang, baru 1,000-an lubang yang dibuat tahun 2019.  Targetnya sampai tahun 2022 targetnya ternyata hanya 5,000-an lubang. Lalu siapa yang akan menggali 1,795,000 lubang lagi? Apakah mungkin minta setiap rumahtangga Jakarta (2.7 juta) bikin lubang sendiri? Misalnya dengan program "Satu Suami Satu Lubang"?

Ketika kemudian Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengidentifikasi banjir 1 Januari 2020 terjadi di ruas Sungai Ciliwung yang belum dinormalisasi, Anies kemudian berargumen bahwa masalahnya adalah di hulu.  Katanya, selama air hujan di hulu tidak dikendalikan, antara lain dengan membangun bendungan retensi, maka apapun yang dilakukan di hilir, di Jakarta,  tidak akan mampu menghindari banjir (8).

Dengan argumen itu, Anies mau bilang,  banjir Jakarta terjadi bukan karena dia tidak menjalankan naturalisasi ataupun normalisasi sungai.  Tapi karena Pemda Kabupaten Bogor dan Kementerian PUPR gagal mengendalikan air di hulu. Agaknya Anies ingin Bupati Bogor dan Menteri PUPR menjadi duo Avatar Sang Pengendali Air, yang bekerja menahan air di hulu, sehingga Jakarta di hilirnya aman, bebas dari banjir.

Jika risiko banjir bisa sepenuhnya dimitigasi di hulu, maka Anies mungkin berpikir bisa melakukan naturalisasi sungai-sungai Jakarta dengan aman.  Lalu akan sesumbar, "Lihat, naturalisasi sungai di Jakarta sukses mencegah banjir." Jika kisah itu diumbar ke aparat PUB Singapura, pasti mereka akan ternganga, sebelum balik badan terbahak-bahak.

Tapi tunggu dulu.  Banjir 1 Januari 2020 bukan banjir kiriman dari Bogor. Sebab curah hujan di sana tanggal 1 Januari 2020 rendah.  Hanya 57.4 mm menurut pengukuran ARG Katulampa dan 75.8 mm menurut pengukuran ANS IPB. Jelas banjir Jakarta diakibatkan curah hujan ekstrim di Jakarta, sampai 377 mm di sekitar Halim (9 dan 10). Anies sendiri yang tak mampu mengendalikan limpahan air hujan di rumahnya, tetangganya yang tak kehujanan dipersalahkan.  

Semangat menyalahkan itu bahkan menyasar ke Presiden Jokowi juga. Tentang ini, berdasar pemberitaan, sebuah percakapan antara Jokowi dan Anies bisa dikonstruksikan seperti ini (11):

Jokowi: "Banjir Jakarta terjadi karena sejumlah faktor.  Ada faktor kerusakan ekosistem.  Ada juga faktor kesalahan manusia.  Misalnya buang sampah sembarangan."

Anies: "Di Halim hujan lebat.  Bandara Halim banjir. Di sana tak ada sampah." 

Jokowi: "Pinter. Sudah tahu faktor penyebab Halim banjir. Kok tidak dimitigasi sebelumnya, ya?"

Menutup komedi Anies soal banjir, tepat untuk mengutip ujarannya terkait dampak banjir di Kampung Pulo Jakarta: "Anak-anak pada senang main tuh. Benar kan? Wong saya kemarin ke Kampung Pulo. Banjir kan di sana. Jadi anak-anak pada main saja, berenang." (12).

Jika ada yang merasa lucu dan terbahak mendengar cerita Anies itu, maka besar kemungkinan dia juga terbahak ketika Joker menceritakan mengapa pipi kiri dan kanan di ujung bibirnya sobek lengkung ke atas.  Katanya, waktu dia kecil,  bapaknya yang sedang mabuk telah menyayatnya agar Joker kecil tidak tampak murung tapi terlihat senyum terus. "Why so serious, son?" kata bapaknya.

***

Bagaimana cara terbijak menyikapi seorang penguasa yang merespon tragedi dengan komedi? Menghujatnya? Mengutuknya? Menghinanya? Silahkan lakukan semua itu. Hasilnya tak akan lebih dari narasi komedi baru.

Sikap terbijak adalah empati. Itulah yang ditempuh Presiden Jokowi.  Tidak menyalahkan Anies, tapi berempati dengan bilang masalah mitigasi banjir di Jakarta sangat sulit karena terkendala kesulitan pembebasan lahan bantaran (13).

Walaupun sulit tapi bisa. Terbukti 16 km dari 33 km ruas Ciliwung sudah dinormalisasi pada masa pemerintahan Jokowi/Ahok/Jarot. Sebagian tanah untuk sodetan Ciliwung-BKT sudah dibebaskan. Karena itu Jokowi minta Anies untuk melanjutkan pembebasan lahan bantaran, agar Kementerian PUPR dapat melanjutkan kegiatan fisik normalisasi.  Atau naturalisasi. Terserah apa istilahnya, yang penting laksanakan.  

Jokowi tak cuma omong doang. Dia segera mengkoordinasi para menteri terkait, khususnya Menteri PUPR, untuk mendukung Anies memitigasi banjir Jakarta.  Kementerian PUPR langsung turun lapang. Jokowi sendiri juga ikut turun lapang, antara lain cek pompa ke Waduk Pluit.

Begitulah, tanpa bantahan sepatah katapun, Anies telah memutuskan untuk melanjutkan pembebasan lahan bantaran dan sodetan. Tak ada lagi debat normalisasi versus naturalisasi. Karena inti keduanya adalah revitalisasi sungai agar daya tampung dan daya hantar airnya ke laut adaptif terhadap curah hujan ekstrim di Jakarta maupun di hulu.  

Drainase vertikal, sangat baik jika dilaksanakan optimal.  Tidak hanya hitungan ribuan lubang, tapi hitungan juta.  Bagus sekali jika Anies mewujudkan "Jakarta Kota Sejuta Lubang". Kota yang menangkap, menyimpan, dan menggunakan air hujan, seperti Singapura. Bayangkan jika ada sejuta lubang ukuran (1 x 1 x 10) m.  Berarti mampu menampung air 10 m3 x 1,000,000 = 10,000,000 m3.  Kapasitas Stamford Detention Tank Singapura (38,000 m3) kalah jauh. Selain meringankan beban sungai, sejuta lubang drainase itu akan menjadi tabungan air baku kota.

Begitulah, empati sangat diperlukan untuk mewujudkan kinerja Anies Baswedan sebagai gubernur Jakarta yang sebenar-benarnya.  Bukan sebatas narasi "Anies Gubernur Indonesia" (berarti bukan gubernur) atau "Gubernur Rasa Presiden" (berarti bukan presiden).  

Narasi tak akan menjadikan Jakarta melampaui Surabaya dalam kualitas manajemen mitigasi banjir.  Maka Anies harus didukung untuk bekerja, bukan mengumbar narasi yang lama-lama membunuh akal sehat.

Demikian catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, menangkap hujan untuk mengairi sawah tadah hujan.(*)
 
Rujukan:
(1)    "Kenapa Massa Pro Anies Baswedan Dibiarkan di Dalam Balai Kota?" tempo.co, 15/1/2020).
(2)    "Kenapa Massa Pro Anies Baswedan Dibiarkan di Dalam Balai Kota?" tempo.co 15/1/2020).
(3)    Akhmad Sahal, "Gubernur Seiman Tapi Amburadul", Cokro TV Youtube Channel.
(4)    Felix Tani, "Anies Baswedan Salah Paham tentang Naturalisasi Sungai di Singapura", kompasiana.com (8/1/2020).
(5)    "Banjir Jakarta, Anies Klaim Naturalisasi Sungai Selesai 2019", tempo.co, 2/4/2019.
(6)    "Sumur Resapan Mampu Kurangi Genangan Air Hingga 50%", medcom.id, 4/12/2019.
(7)    "Membandingkan Data Banjir Jakarta pada 2013, 2015 dan 2020", merdeka.com, 12/1/2020.
(8)    "Beda Pendapat Anies dan Basuki Soal Solusi Banjir Jakarta", tempo.co, 1/1/2020.
(9)    "LIPI Tegaskan Bogor Bukan Penyebab Banjir Jakarta", cnnindonesia.com, 8/1/2020.
(10)    "Jabodetabek Banjir, Curah Hujan 1 Januari 2020 Tertinggi Selama 24 Tahun", detik.com, 2/1/2020.
(11)    "Jokowi: Sampah Sebabkan Banjir, Anies: Di Halim Tak Ada Sampah", tempo.co, 2/1/2020.
(12)    "Banjir di Jakarta, Anies Baswedan: Anak-anak Seneng Main Tuh dan Berenang", chanel9.id, 3/1/2020.
(13)    "Jokowi Anggap Masalah Lahan Hambat Pengendalian Banjir Jakarta Sejak 2017", detik.com, 2/1/2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun