Kecuali dalam hal jumlah korban jiwa, banjir 1 Januari 2015 sebenarnya tidak separah banjir 1 Januari 2020. Â Tapi label tragedi layak disematkan pada banjir 1 Januari 2020, karena ada waktu 2 tahun (2018-2019) bagi Anies untuk melakukan mitigasi, tapi dia tidak melakukannya di lapangan. Padahal risiko banjir tiap musim hujan di awal tahun sudah diperkirakan. Tapi Anies, dengan kealpaannya dalam mitigasi, justru membiarkan "tergenang kotanya sengsara warganya". Â Tidakkah itu tragis?
***
Namun pada narasi Anies Baswedan, banjir Jakarta 1 Januati 2020 bukan sebuah tragedi, melainkan komedi. Â Bukan jenis komedi yang membuat pendengar tertawa lepas keluar bikin lega. Melainkan komedi yang membuat pendengar tertawa ke dalam bikin sesak. Â
Komedi Anies sudah dimulai sejak kampanye Pilgub 2017 saat mengatakan di mana-mana di seluruh dunia air hujan turun dan masuk ke dalam bumi, bukan di buang ke laut lewat gorong-gorong raksasa. Â Anies mungkin tidak pernah serius belajar Ilmu Bumi, sehingga tidak tahu bahwa laut adalah bagian bumi yang paling rendah dan puncak gunung adalah bagian tertinggi. Â Juga tidak tahu bahwa air selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Termasuk meresap ke bawah permukaan tanah selama struktur batuan belum jenuh air. Â
Tapi "narasi air hujan masuk bumi" itu sejatinya adalah argumen dasar  Anies  menolak normalisasi sungai, sekaligus dasar ide naturalisasi sungai-sungai Jakarta.  Dia merujuk restorasi hulu Sungai Kallang Singapura, yaitu Taman Bishan, sebagai kisah sukses. Tapi ini rujukan yang salah, sebab restorasi sungai Kallang di Taman Bishan bukan program mitigasi banjir, tapi proyek taman kota ramah ekologis. Â
Ketika awal April 2019 Anies bilang  naturalisasi sungai Jakarta sedang dijalankan dan akan terlihat hasilnya akhir tahun, maka dia tidak saja sedang mengumbar utopia, tapi juga mengumbar janji yang menjadi "kebohongan".  Sebab jika Taman Bishan yang menjadi rujukan, maka perlu diketahui restorasi ruas Sungai Kallang sepanjang 2.7 km itu makan waktu 4 tahun (2009-2012). Jika Anies mengklaim revitalisasi 13 sungai di Jakarta selesai akhir 2019, maka dia mungkin adalah reinkarnasi Bandung Bondowoso. Â
Bukan hanya naturalisasi sungai yang tak dijalankan, drainase vertikal juga tidak signifikan. Dari kebutuhan 1.8 juta lubang, baru 1,000-an lubang yang dibuat tahun 2019. Â Targetnya sampai tahun 2022 targetnya ternyata hanya 5,000-an lubang. Lalu siapa yang akan menggali 1,795,000 lubang lagi? Apakah mungkin minta setiap rumahtangga Jakarta (2.7 juta) bikin lubang sendiri? Misalnya dengan program "Satu Suami Satu Lubang"?
Ketika kemudian Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengidentifikasi banjir 1 Januari 2020 terjadi di ruas Sungai Ciliwung yang belum dinormalisasi, Anies kemudian berargumen bahwa masalahnya adalah di hulu. Â Katanya, selama air hujan di hulu tidak dikendalikan, antara lain dengan membangun bendungan retensi, maka apapun yang dilakukan di hilir, di Jakarta, Â tidak akan mampu menghindari banjir (8).
Dengan argumen itu, Anies mau bilang, Â banjir Jakarta terjadi bukan karena dia tidak menjalankan naturalisasi ataupun normalisasi sungai. Â Tapi karena Pemda Kabupaten Bogor dan Kementerian PUPR gagal mengendalikan air di hulu. Agaknya Anies ingin Bupati Bogor dan Menteri PUPR menjadi duo Avatar Sang Pengendali Air, yang bekerja menahan air di hulu, sehingga Jakarta di hilirnya aman, bebas dari banjir.
Jika risiko banjir bisa sepenuhnya dimitigasi di hulu, maka Anies mungkin berpikir bisa melakukan naturalisasi sungai-sungai Jakarta dengan aman. Â Lalu akan sesumbar, "Lihat, naturalisasi sungai di Jakarta sukses mencegah banjir." Jika kisah itu diumbar ke aparat PUB Singapura, pasti mereka akan ternganga, sebelum balik badan terbahak-bahak.
Tapi tunggu dulu. Â Banjir 1 Januari 2020 bukan banjir kiriman dari Bogor. Sebab curah hujan di sana tanggal 1 Januari 2020 rendah. Â Hanya 57.4 mm menurut pengukuran ARG Katulampa dan 75.8 mm menurut pengukuran ANS IPB. Jelas banjir Jakarta diakibatkan curah hujan ekstrim di Jakarta, sampai 377 mm di sekitar Halim (9 dan 10). Anies sendiri yang tak mampu mengendalikan limpahan air hujan di rumahnya, tetangganya yang tak kehujanan dipersalahkan. Â