Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tragedi Jakarta dan Komedi Anies Baswedan

21 Januari 2020   20:51 Diperbarui: 22 Januari 2020   05:40 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret banjir di Jakarta (Foto: kompas.com)

Anies menolak program normalisasi sungai karena berimplikasi pelebaran dan penurapan bantaran serta, ini yang paling berat, berdampak relokasi warga bantaran ke rumah susun. Bagi Anies relokasi warga itu berarti penggusuran. Itu bertentangan dengan janjinya untuk  "membangun tanpa menggusur".  

Maka lahirlah ide naturalisasi sungai dari Anies. Ide pokoknya adalah pemulihan ekosistem  sungai pada wujud alaminya, berbantaran hijau lebar tanpa perlu menggusur warga, cukup digeser saja.

Gagasan naturalisasi itu,  dipetik secara salah kaprah dari kasus restorasi sungai dalam rangka rehabilitasi Taman Bishan di hulu Sungai Kallang Singapura, untuk kondisi ekologis Jakarta adalah utopia. Singapura tiba pada level itu setelah sukses mitigasi banjir dengan program "Bersih Sungai", serupa dengan program normalisasi sungai yang telah dijalankan Ahok (4).

Perlu diketahui, masterplan mitigasi banjir yang dijalankan Ahok itu sudah ada sejak 1973. Lebih dulu dibanding Singapura (1977).  Dengan normalisasi sungai, termasuk di dalamnya  pembangunan sodetan Ciliwung-BKT dan pelebaran waduk,  Ahok sebenarnya hanya menyempurnakan dan mengeksekusi program mitigasi banjir yang sudah digagas sejak era Gubernur Ali Sadikin (1966-1977).

Tapi Anies telah memilih langkah naturalisasi sungai, termasuk di dalamnya  drainase vertikal dengan target 1.8 juta lubang drainase di Jakarta. Targetnya sungai-sungai Jakarta dikembalikan ke ekosistem aslinya, lebar dengan bantaran landai (bukan turap beton) yang hijau oleh rerumputan, perdu dan pepohonan. Airnya jernih penuh ikan berenang kian kemari.  Bila hujan turun, airnya masuk ke bumi lewat 1.8 juta lubang drainase vertikal. Sebagian lagi tertahan oleh vegetasi sungai "natural". Sehingga Jakarta bebas dari banjir.  

Itulah bagian dari "Jakarta Baru" yang dijanjikan Anies.  Jakarta yang "maju kotanya bahagia warganya".  Tapi naturalisasi sungai di Jakarta adalah sebuah utopia karena dua alasan, ekologis dan sosiologis.  

Pertama, alasan ekologis. Mustahil memulihkan ekosistem sungai-sungai Jakarta pada wujud "alami ala Taman Bishan Singapura".  Jakarta adalah dataran rendah pesisir laut. Karena itu ekosistem asli sungai-sungainya adalah hutan bakau (di muara) dan rawa. Bakau menahan banjir rob dan rawa menampung curah hujan lebat dan debit berlebih kiriman dari hulu.  

Kedua, alasan sosiologis,  spesifik sosilogi politik.  "Naturalisasi" pasti berdampak penggusuran besar-besaran warga pemukim bantaran sungai.  Ambil contoh Sungai Ciliwung.  Jika naturalisasi dilaksanakan, maka  masing-masing 20 meter  bantaran kiri dan kanan sungai sepanjang 33 km harus dibersihkan dari okupansi. Hitung  berapa ribu rumah dan keluarga yang harus digusur. Belum lagi menghitung penggusuran di bantaran 12 sungai lainnya.  Sedahsyat apa jadinya ingkar janji Anies untuk membangun tanpa menggusur?

Tapi Anies adalah tipe persona yang pandai menata kata (narasi) untuk menutupi kemalasan  menata kota (realisasi). Pada  26 April 2019, merespon banjir Jakarta akibat tingginya curah hujan di Bogor dalam dua hari sebelumnya,  Anies dengan penuh keyakinan mengatakan naturalisasi sungai sedang dilaksanakan dan hasilnya akan terlihat akhir 2019 (5).

Logikanya, jika klaim Anies benar, maka di akhir 2019 warga Jakarta akan disuguhi lansekap daerah aliran 13 sungai dengan ekosistem  natural atau alami.  Faktanya, ekosistem sungai tidak berubah alami, tapi menjadi lebih buruk dibanding masa pemerintahan Ahok. Naturalisasi tidak dijalankan, normalisasi dihentikan.  Sodetan Ciliwung-BKT tak berlanjut.  Pembersihan sungai dan waduk kota tidak optimal.  Realisasi drainase vertikal, atau sumur resapan, sepanjang 2019  baru sekitar 1,000 lubang (6).

Jelas sekali bahwa jarak antara "narasi mitigasi banjir" dan "realisasi mitigasi banjir" Jakarta terlalu lebar di tangan Gubernur Anies. Maka ketika curah hujan ekstrim (di atas 150 mm) menguyur Jakarta sepanjang malam peralihan tahun 2019 ke 2020, kota ini langsung  tergenangi banjir tinggi sepanjang 1-2 Januari 2020 pada 60-an titik lokasi. Sejumlah 31,232 orang warga harus mengungsi. Korban jiwa tercatat 19 orang (7).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun