Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Balik Alasan Marco Kusumawijaya Non-Aktif dari TGUPP Jakarta

18 Desember 2019   12:37 Diperbarui: 18 Desember 2019   16:15 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marco Kusumawijaya, anggota TGUPP Jakarta non-aktif (Foto: kompas.com)

Saya termasuk orang yang tak setuju pada pembentukan Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) oleh Anies Baswedan, Gubernur Jakarta tahun 2017.

Menurut saya fungsi tim itu sebenarnya bisa langsung dijalankan sendiri oleh Gubernur dan Wakil Gubernur.  Kalaupun diperlukan dukungan ahli, mungkin cukup mengangkat sekitar lima orang tenaga ahli Gubernur.  Tidak perlu mengangkat 74 orang anggota "tim pendukung" (pada awal pembentukannya).

Saya punya perkiraan bahwa TGUPP sebenarnya tidak terlalu banyak kerjanya. Sebab tugas-tugas mereka untuk sebagian besar sudah melekat pada fungsi-fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).  

Karena itu, dugaan saya sedari awal, pekerjaan TGUPP tidak banyak sehingga tak perlu kerja lima tahun lamanya. Jika anggota TGUPP kerjanya benar, setelah satu atau dua tahun mungkin dia sudah bisa minta berhenti. Daripada digaji tanpa kerja nyata.

Saya tadinya tidak punya cukup data subyektif (pengakuan anggota TGUPP) untuk membuktikan dugaan itu.  Sampai kemudian tersiar  kabar bahwa Marco Kusumawijaya, Ketua TGUPP Bidang Pengelolaan Pesisir memutuskan non-aktif dari tim itu per 1 Desember 2019.

Semula tidak begitu jelas musabab penon-aktifan diri itu.  Kecuali disebut alasan untuk konsentrasi menulis buku. Alasan menulis buku itu, setahu saya, adalah alasan klasik paling indah.  

Alasan "menulis buku" tidak pernah sahih sebagai alasan. Sebab seorang anggota TGUPP pastilah tidak bekerja 24 jam per hari selama 7 hari dalam seminggu. Jika ada niat, pasti bisa meluangkan waktu untuk nulis buku.

Untunglah rekan Kompasianer Bang Adam Jakarta membuka sedikit alasan Marco dalam sebuah artikelnya (lihat: "Ini Alasan Marco Kusumawijaya Keluar dari TGUPP DKI", kompasiana.com, 12/12/2019, alasan itu diberitakan juga di sejumlah media on-line). Jadi akhirnya saya punya sedikit data subyektif untuk membuktikan dugaan saya.

Saya tidak hendak melihat yang tersurat, tapi yang tersirat dari alasan itu. Artinya saya melakukan tafsir terhadap alasan tersurat dari Marco. 

Tujuannya untuk mengungkap apa yang ada di baliknya. Ini cara "pelukisan mendalam" (thick description) ala C. Geertz, tapi versi sederhana.  

Sebelumnya, sebagai data, saya perlu ringkaskan lebih dulu alasan tersurat dari Marco.

Pertama, menurut Marco, seluruh tugas pokok Komite Pesisir TGUPP yang diketuainya sudah selesai, sehingga dia memutuskan non-aktif dari kegiatan di TGUPP (catatan: "non-aktif" tidak sama dengan "mundur").

Kedua, tugas pokok yang dimaksud adalah penyusunan rencana kawasan pesisir Jakarta. Tugas ini meliputi penyiapan langkah-langkah penghentian reklamasi, penyusunan rencana wajah baru kawasan pesisir Jakarta (tanpa reklamasi), dan program perbaikan kampung kawasan pesisir.

Sekarang saya masuk pada tafsir atas dua poin alasan Marco yang tersurat di atas. 

Pertama, tentang tugas pokok Komite Pesisir yang dinyatakan sudah selesai. Ada dua makna terselubung di balik pernyataan ini. 

Makna pertama, Komite Pesisir TGUPP tidak punya pekerjaan lagi. Implikasinya, para anggota Komite Pesisir TGUPP harusnya juga non-aktif mengikuti langkah ketuanya. Faktanya, anggota Komite Pesisir tidak mundur.

Makna kedua, tugas pokok TGUPP bukan pekerjaan 5 tahun.  Bisa diselesaikan dalam tempo singkat, 1-2 tahun. Ini berarti tugas komite lainnya (Respon Strategis, Hukum dan Pencegahan Korupsi, Ekonomi dan Percepatan Pembangunan), mestinya juga dapat diselesaikan dalam 1-2 tahun. Mengingat sifat dan aras tugasnya sama. 

Kedua, tentang lingkup tugas Komite Pesisir TGUPP yaitu penyusunan rencana kawasan pesisir Jakarta. Tersirat bahwa tugas riil TGUPP adalah dukungan percepatan perencanaan pembangunan di empat bidang (sesuai empat bidang TGUPP). 

Termasuk di dalamnya rencana debottlenecking atas faktor-faktor kendala kebijakan, regulasi, kelembagaan, organisasi, pendanaan dan teknis pelaksanaan pembangunan.

Rencana itulah yang kemudian dijalankan oleh Pemda DKI Jakarta. Dalam hal ini oleh SKPD yang terasosiasi pada empat bidang TGUPP. TGUPP tidak masuk pada operasionalisasi program-program yang telah direncanakan.

Tersirat di sini bahwa TGUPP sejatinya mengambil alih sebagian tugas Bappeda Jakarta. Hanya saja tugas perencanaan spesifik pada bidang-bidang respon strategis, hukum dan pencegahan korupsi, pengelolaan pesisir, serta ekonomi dan percepatan pembangunan.

Jika demikian halnya, maka keputusan non-aktif dari Marco bermakna tohokan pada tiga tim TGUPP lainnya dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.  

Pertama, dengan langkah non-aktif atas alasan tugas sudah sekesai, Marco telah menggugat kerja tiga tim lainnya. Merujuk pengalaman Marco sendiri, harusnya tiga tim TGUPP lainnya semestinya sudah menyelesaikan tugas pokoknya. Sehingga ketua-ketua tim itu, serta anggotanya, seharusnya sudah bisa non-aktif juga seperti Marco.

Merujuk hasil kerja Marco, sejatinya tidak ada yang terlalu sulit dengan pekerjaan TGUPP, sehingga perlu waktu 5 tahun menyelesaikannya. Kecuali itu dibikin sulit demi kepentingan sendiri. Sebab yang namanya "percepatan", mestinya selesai dalam 1-2 tahun. Kalau kerja sampai tahun ke-5 berarti fungsi percepatan tidak jalan, alias gagal.

Kedua, langkah non-aktif Marco itu tohokan rekomendatif untuk Anies Baswedan, agar meninjau ulang relevansi dan urgensi TGUPP setelah dua tahun bertugas. Seperti Komite Pesisir, tiga komite lainnya juga harusnya juga sudah menyelesaikan tugas pokoknya. Sisanya tinggal pelaksanaan oleh organisasi Pemda.

Tersirat dari penjelasan Marco, bahwa TGUPP sebenarnya tidak perlu menjadi lembaga sebesar seperti sekarang. Anggota TGUPP cukup empat atau lima orang saja. Dipilih orang yang punya kompetensi tinggi di bidang-bidang yang menjadi fokus kerja TGUPP.  

Jika perlu dukungan tim kerja, maka cukup dibentuk tim adhoc. Tim ini membantu kerja TGUPP untuk bidang spesifik dan waktu terbatas. Tidak perlu tim fungsional TGUPP untuk masa lima tahun kerja seperti sekarang. Dengan cara itu anggaran TGUPP tidak perlu besar seperti sekarang ini.

Bagaimanapun, ini adalah sebuah tafsir atas sebuah fakta sosial.  Fakta non-aktifnya Marco dari TGUPP, dengan alasan tertentu yang disampaikannya. Tafsir bisa beda, tergantung sudut pandang dan metode tafsir. Tapi perbedaan itu untuk didiskusikan. Bukan untuk disengketakan. Begitu kalau kita mengaku punya etika.

Demikian pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, mimpi membangun pertanian vertikal di Jakarta.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun