Belanda penjajah sudah lama pulang kampung. Tapi jejaknya masih tertinggal di tanah merdeka ini. Menjadi kenangan atas pemerasan isi bumi kita di masa lalu. Sekaligus wahana untuk berwisata ke era kolonial.
Komplek emplasemen BUMN PT Sang Hyang Seri (Persero) (SHS) adalah salah satu dari banyak jejak kolonial di bumi nusantara ini. Sebagaimana umumnya emplasemen perusahaan-perusahaan BUMN perkebunan, emplasemen SHS adalah situs peninggalan onderneming dari masa penjajahan.
Suasana itu terbentuk oleh sejumlah peninggalan onderneming yang tetap dipertahankan. Terutama sejumlah bangunan kolonial, gudang dan rumah. Serta pohon-pohon tua khas emplasemen, khususnya baobab dan trembesi.
Tapi sebelum mengisahkan penikmatan saya pada situs kolonial itu, saya ingin ceritakan sedikit asal-usul SHS. Sejarah ringkasnya sejak masa penjajahan sampai sekarang.
Sejarah Sukamandi
Komplek emplasemen SHS, sekitar 80 hektar, dan areal kebun benih padinya (sawah) sekitar 3,150 ha, sampai tahun 1964 adalah bagian dari De Onderneming Soekamandi der Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T).
Perusahaan P & T adalah perusahaan perkebunan milik pengusaha Inggris yang menguasai tanah partikelir Pamanukan dan Ciasem.  Bentang wilayah tanah itu, seluas total 348 km2, secara keseluruhan adalah wilayah yang kini  menjadi Kabupaten Subang. Â
Tanah perkebunan itu dibentuk pemerintah kolonial tahun 1858 dengan status hak eigendom. Tahun 1910 tanah partikelir ini pindah tangan kepada  NV Maatschappij ter Exploitatie der Pamanoekan en Tjiasemlanden. Perusahaan ini berdiri tahun 1886, kantor pusatnya di Batavia. Â
Pengelolaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden diserahkan kepada Anglo-Dutch Plantation of Java Ltd. yang berkantor di London. Ini adalah anak perusahaan NV Maatschappij ter Exploitatie der Pamanoekan en Tjiasemlanden. Perkebunan ini mengusahakan komoditas karet, teh, kina, kopi, sisal, cassava, dan randu.
Tanaman utama yang diusahakan di perkebunan Sukamandi ini waktu itu adalah sisal (rami). Bagian yang diambil dan proses adalah serat kulit batangnya. Serat sisal terkenal kuat sehingga baik digunakan untuk bahan tambang, karpet, dan serat penguat ban.
Bangunan-bangunan yang ada di komplek itu difungsikan untuk pekerjaan dekortikasi (pemisahan kulit berserat dari batang sisal), degumming (menghilangkan lendir pada serat dengan cara perebusan), pemutihan serat (pemanasan dan pencucian), pelurusan dan pemotongan serat, sampai penguraian bundel serat.
Perusahaan perkebunan Sukamandi ini dialihkan ke bawah pengelolaan Perusahaah Tapioka dan Rosela Sukamandi Jaya. Â
Pengelolaannya diserahkan pada Proyek Dewi Sri Jaya, sebuah proyek intensifikasi padi sawah.
Pada tahun 1968, Proyek Dewi Sri Jaya diubah dan diresmikan Presiden Soeharto menjadi Lembaga Sang Hyang Seri Sukamandi. Fungsinya untuk produksi benih padi unggul.
Tahun 1995, setahun setelah swasembada beras tercapai, status Perum berubah menjadi Persero. Bisnis intinya tetap produksi benih tanaman pangan unggul, khususnya padi.
Demikian sejarahnya. Sampai sekarang SHS Sukamandi tetap menjalankan bisnis produksi benih padi ungul bersertifikat. Â Warga setempat masih menyebutnya Perum, walau statusnya sudah Persero.
Bangunan-bangunan emplasemen eks-pabrik sisal difungsikan untuk gudang benih dan bahan bantu produksi benih. Calon benih padi ditangkarkan pada areal 3,150 ha, eks-lahan perkebunan sisal (kemudian cassava dan rosela).
Sudut Kolonial
Memasuki emplasemen SHS Sukamandi, suasana perkebunan kolonial langsung terasa. Di tengah emplasemen terhampar tanah lapang luas.
Di sekelilingnya tegak rimbun pohon-pohon trembesi tua. Ditanam pada tahun 1920-an akhir. Seiring pembukaan Onderneming Soekamandi.
Ukuran rumah menunjukkan posisi di perusahaan. Tuan kebun atau administratur tinggal di rumah paling besar. Asisten kebun, kerani, dan sinder di bawahnya. Sampai tipe terkecil untuk kuli kebun.
Tentu, selain melestarikan rumah-rumah tua itu, kini SHS membangun juga rumah-rumah modern dan wisma untuk pegawainya. Bangunan rumah kolonial dan modern kini bercampur di sana.
Cerobong itu dulu menjadi saluran pembuangan asap bakaran untuk perebusan serat sisal pada tahap degumming. Bekas tungku pembakaran ada di arah utara cerobong.
Sayang, tungkunya sudah rusak dan penuh semak. Tidak dipelihara.
Satu gudang lagi tidak bisa digunakan. Karena diokupasi ribuan kalong yang tidak bisa diusir. Upaya pengusirannya beberapa kali berujung jatuh sakit pada pengusir.
Katanya dalam mimpi didatangi sisok manusia kalong yang minta agar rakyatnya tidak diusir. Boleh tidak percaya.
Sedangkan bangunan pengolahan dulu dipakai untuk pelurusan, pemotongan, dan penguraian bundel serat sisal. Sekarang digunakan SHS untuk gudang penyimoanan bahan bantu produksi benih. Antara lain karung dan kemasan benih padi.
Kicau merdu cucakrowo di pucuk beringin tua, di selatan cerobong, menyadarkan saya. Bahwa kini kedua kakiku menjejak tanah merdeka Sukamandi.
Sudut kolonial ini adalah kenangan atas masa lalu. Kenangan tentang penggal sejarah yang ikut membentuk alam Sukamandi merdeka.
Agrowisata Kolonial
Sambil bersiul melangkah keluar dari sudut kolonial Sukamandi, saya berpikir, alangkah bagusnya jika emplasemen SHS Sukamandi ini dikembangkan menjadi destinasi agrowisata kolonial.
Di tempat ini orang bisa belajar tentang struktur sosial onderneming kolonial. Terbaca dari struktur pemukiman dan model rumah. Petinggi tinggal dalam rumah besar di pusat komplek. Kuli tinggal di lingkar luar dalam rumah kecil.
Juga masih bisa belajar tentang organisasi produksi pada pabrik serat sisal era kolonial. Struktur pabrik masih utuh. Sehingga alur proses produksi masih bisa dibaca dengan mudah. Ini pengetahuan langka, di era serat baja dan fiber kini.
Tentu, selain itu, orang bisa juga memuaskan sisi narsisnya di sini. Selfie ataupun wefie. Atau lebih baik dari itu, mungkin foto pre-wedding. Dengan tema agroindustri masa kolonial. Adakah yang lebih eksotis dari itu?
Tempat ini mudah dijangkau. Tepat di tepi jalan raya Pantura lama, di Desa Sukamandi, Kecamatan Subang Jawa Barat. Tempat ini adalah oase, tempat diri memuaskan dahaga akan kisah-kisah masa lalu, masa kolonial.
Demikian kisah perjalananku, Felix Tani, petani mardijker, sering terlontar ke masa lalu.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H