Lazimnya, tetenger suatu desa dan kemudian kota di Tanah Batak adalah pohon hariara (Ficus sp., sejenis beringin). Tapi tidak dengan Tarutung, ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Tetenger kota terpenting dalam sejarah Tanah Batak ini adalah pohon tarutung, nama lokal untuk durian (Durio zibethinus).
Bagaimana proses tumbuh kota ini dari sepohon durian, nanti saya ceritakan. Sebelum ke situ, saya perlu paparkan dulu keunikan geografi dan demografi kota ini. Lalu mentinggung sedikit peran kota ini dalam perkembangan sosial Tanah Batak, khususnya Kristenisasi.
Geografi Tarutung
Ibu kota Tapanuli Utara ini, 280 km di selatan Medan atau 36 km di selatan Bandara Silangit Siborongborong, berada di tengah lembah Rura Silindung (Btk. rura, Ind. lembah). Kota ini ibarat bentang alam permai di dasar kuali alami raksasa. Seturut kata warganya, Rura Silindung na uli, Rura Silindung nan permai.
Kota ini sepenuhnya dikelilingi perbukitan. Di timur perbukitan Siatas Barita dan Sipahutar. Di utara perbukitan Sipoholon dan dataran tinggi Siborongborong. Di barat perbukitan Adiankoting. Di selatan perbukitan Pahaejulu.
Membelah kota, Aek (Sungai) Sigeaon mengalir ajeg sebagai salah satu penanda Tarutung. Sungai ini menjadi sumber utama pengairan bagi bentang luas persawahan di utara, timur, dan selatan kota sejak masa pra-kolonial.
Bersisian dengan Aek Sigeaon, di belahan barat kota, ruas jalan lintas Sumatera membuka akses Tarutung ke Medan (Pelabuhan Belawan) di utara dan Sibolga (Pelabuhan Sibolga) di selatan.Â
Ini jalan warisan Pemerintah Kolonial Belanda yang dibangun akhir tahun 1910-an, bagian dari jalan raya yang membuka Tanah Batak pada "dunia luar".
Di belahan timur kota, di masa merdeka, telah dibangun pula ruas jalan lintas tengah Sumatera. Jalan ini langsung terentang ke Padang Sidempuan, Bukittinggi, sampai Padang di selatan. Dengan begitu akses ke selatan lebih lancar. Tidak lagi harus lewat jalur barat, jalan akses Sibolga, yang penuh kelokan sehingga rawan kecelakaan.
Demografi Tarutung
Jumlah penduduk Tarutung diperkirakan 42,000 jiwa (2018), menjadikan kota ini (108 km2) menjadi yang terpadat di Tapanuli Utara (390 jiwa/km2). Mayoritas, atau hampir seluruhnya, etnis Batak Toba.
Kelompok marga utama di kota ini adalah keturunan Guru Mangaloksa Hasibuan, dikenal sebagai Si Opat Pusoran (pusoran, Btk.; pusaran rambut kepala, Ind.). Kelompok ini terdiri dari marga-marga Hutabarat, Panggabean (termasuk Simorangkir), Hutagalung, Hutatoruan (termasuk Hutapea dan Lumbantobing).