Sekarang Admin Kompasiana "memaksa" Kompasianer verifikasi biru untuk memproduksi tulisan berkualifikasi "Artikel Utama". Maksudnya baik. Agar Kompasianer memproduksi artikel yang mencerminkan kualifikasi birunya. Â
Tapi itu termasuk kategori "paksaan halus" (gentle oppression). Suatu paksaan, apapun bentuknya, pastiah membuahkan derita bagi yang dipaksa. Dipaksa untuk menulis artikel dengan kualitas terbaik menurut ukuran Admin Kompasiana.Â
Jadi, jika ada rekan Kompasianer yang menganggap enak Kompasianer verifikasi biru, karena menulis apapun pasti jadi "Pilihan", maka dia salah. Â Tidak kawan, itu tidak enak.Â
Itu "jebakan betmen", sumber penderitaan bagi seorang Kompasianer anarkis sepertiku. Membuat aku tak bisa lagi menulis artikel picisan seenaknya. Padahal di situ letak kebahagiaanku.
Tampil Beda atau Lenyap
Sejak awal bergabung ke Kompasiana, aku tak pernah berpikir untuk menjadi sama dengan Kompasianer yang merajai "Head Line" dan "Nilai Tertinggi". Mereka adalah Kompasianer lapis atas.Â
Tapi ada satu prinsip yang saya pegang. Di dunia maya, khususnya medsos, seseorang hanya bisa eksis jika tampil beda. Â Jika sama seperti yang lain, maka tak lebih dari sekadar pengikut yang akan lenyap dalam khalayak sejenis.
Seri artikel "kritik sosial pada Jokowi", "Penelitian Kualitatif" dan "Humor Revolusi Mental" adalah upayaku untuk tampil beda. Aku tak mau larut dalam ingar-bingar artikel politik. Sebab khawatir jatuh pada kerja reproduktif.
Sekarang aku menulis tentang Batak, pertanuan, dan Gubernur Jakarta dengan perspektif anarkis. Sebagai upaya menemukan kebenaran lain. Walaupun ada risiko analisisku ngawur. Anarkisme, sekalipun jujur, belum tentu berujung oada satu kebenaran baru.
Tapi  aku tak gendak mendorong rekan-rekan Kompasianer menjadi anarkis. Tapi menjadilah Kompasianer yang beda, yang punya "signature" khas. Caranya untuk sampai ke sana, cari dan temukanlsh sendiri. Tidak ada satu jalan tunggal.
Jangan sudi hanya menjadi Kompasianer pengikut atau peniru Kompasianer top. Semisal Pebrianov, Susy Haryawan, S. Aji, Leya Cattleya, Giri Lumakto, Yon Bayu, Robby Gandamana, Tjiptadinata Effendi, Abanggeutanyo, Suprihati, Ronald Wan, Rinaldi Sikumbang, dan Ryo Kusumo. Untuk menyebut beberapa nama yang teringat.