Lewat satu artikel, aku bahkan mempromosikan penulisan "artikel picisan" di Kompasiana. Entah ada yang terpengaruh, atau tak ada, tidak soal bagiku.
Tapi kesenangan tak berlangsung lama. Admin Kompasiana mengggusur rumah "Humor" dari kategori artikel Kompasiana. Maka hilang sudah rumah untuk "Humor Revolusi Mental". Â Membuat artikel humor menjadi nomaden, nelangsa tanpa rumah.Â
Aku patah hati. Â Lalu makin anarkis dengan menulis artikel-artikel "genre bullying". Â Maka terkaparlah korban-korban bullying di Kompasiana. Sebutlah Pebrianov, S. Aji, Susy Haryawan, dan Jati Kumoro. Â Â
Mungkin ada yang bertanya mengapa "Suhu" tega membully "murid-murid"-nya. Oh, itu untuk membalaskan sakit hati sejumlah guru yang waktu itu dibully muridnya di dunia nyata.Â
Tidak, itu alasan yang mengada-ada. Â Aku hanya mengikuti teori psikologi. Bahwa orang yang menderita karena tertindas akan melampiaskan deritanya dengan menindas orang yang dianggapnya lebih lemah.Â
Siapakah yang lebih lemah dibanding seorang "Suhu"? Ya, "murid", tentu saja!
Lihatlah. Betapa berbahaya jika ada seorang Kompasianer penuh derita berkeliaran di dunia Kompasiana.
Ora HL ora Elok
Belakangan Admin Kompasiana memulihkan lagi rumah "Humor". Tapi aku sudah kadung patah hati. Tepatnya patah arang. Tak mungkin lagi disatukan.
Lagi pula ada alasan lain mengapa aku ogah kembali ke rumah "Humor". Di dunia nyata tiap hari banyak ulah politisi yang lebih lucu dari humor terbaikku. Â Jadi untuk lagi apa menulis humor? Sudah ada pertunjukan humor secara "live" dari para politisi negeri ini. Â
Alasan lain, saya menemukan lahan anarki baru. Â Menafsir ulang etnis Batak. Â Budaya, alam, struktur sosial, kehidupan, dan perkembangannya.Â