Kampanye Akbar Capres/Cawapres Prabowo-Sandi di GBK Senayan hari Minggu lalu (7/4/19) pastilah ditafsir pendukungnya sebagai pertanda kemenangan pasangan itu pada Pilpres 17 April 2017 nanti.
Berbagai argumen bisa dimajukan untuk mengukuhkan tafsir itu. Semisal klaim massa peserta kampanye satu jutaan orang. Â Sampai klaim kekuatan doa melalui kegiatan Shalat Subuh Berjamaah di GBK Senayan. Â Apapun argumen itu, sah-sah saja adanya. Â Tak perlu, juga tak guna, untuk mendebatnya.
Sebagai "penonton", tentu saya juga boleh memberi tafsir atas peristiwa Kampanye Akbar Prabowo-Sandi itu. Â Menggunakan cara tafsir tersendiri, yang beda dari cara pendukung Prabowo-Sandi, sehingga tiba pada kesimpulan yang beda pula.
Saya akan gunakan pendekatan interpretivisme a'la Clifford Geertz, yaitu "pelukisan mendalam" (thick description) Â sebagai cara tafsir. Â Geertz menyebutnya sebagai "tafsir makna" atau "pemaknaan suatu peristiwa".
Fokus cara tafsir Geertzian itu adalah menjawab pertanyaan "apa yang hendak dikatakan dengan suatu peristiwa?" Â Atau, "apa makna suatu peristiwa"? Jadi, menurut tafsir ini, tidak penting "apa yang dikatakan dalam suatu peristiwa".
Dikenakan pada Kampanye Akbar Prabowo-Sandi, maka pertanyaannya adalah "Apa yang hendak dikatakan dengan Kampanye Akbar itu?" Â Atau, secara sederhana, "Pesan apa yang hendak disampaikan kepada khalayak?" Â Atau, "apa makna Kampanye Akbar itu"?
Jadi, tidak penting "apa yang dikatakan Prabowo" dalam pidatonya saat Kampanye Akbar itu. Â (Lagi pula, sepanjang yang saya tonton di video yang diunggah CNN, sama sekali tidak ada yang baru dalam pidato Prabowo. Â Hanya janji semi-utopis lama tanpa kejelasan cara mencapainya.)
Itu metodenya. Â Saya akan langsung saja masuk pada tafsir atas Kampanye Akbar itu.
***
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa struktur Kampanye Akbar Prabowo-Sandi sebagai peristiwa yang hendak digali maknanya.
"Inti" struktur Kampanye Akbar itu adalah Prabowo-Sandi sendiri sebagai pasangan Capres/Cawapres dari Kubu 2. Â Lalu ada "lingkaran pusat" yang membungkus "inti" Â yaitu para petinggi dan tokoh-tokoh partai-partai pengusung Prabowo-Sandi (Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat). Â Sebagian terbesar di antara mereka tergabung dalam tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Lapis berikutnya adalah lingkaran "pusat-pinggiran", terdiri dari petinggi dan tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan (ormas), tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat (termasuk cendikiawan) pendukung Prabowo-Sandi. Â Â
Antara lain tokoh-tokoh FPI, FUIB, PA 212, dan Forkabi, diduga juga ada tokoh-tokoh mantan pegiat HTI, lalu para Habaib dan Kyai, beberapa ekonom pengeritik Kabinet Jokowi, dan sejumlah aktivis ormas lainnya.
Lebih ke luar adalah lingkaran "pinggiran" yaitu para klien dari tokoh-tokoh "lingkaran pusat" dan "pusat pinggiran" yang berfungsi sebagai penggerak sumberdaya di lapangan, khususnya menggerakkan massa pendukung Prabowo-Sandi.
Paling luar adalah lingkaran "pinggiran-pinggir" yaitu massa pendukung Prabowo-Sandi yang siap dimobilisasi untuk aksi-aksi pemenangan Prabowo-Sandi. Ada dugaan bahwa lingkaran ini didominasi oleh massa yang belum move on dari HTI yang telah dibubarkan pemerintah.
Setelah mengetahui strukturnya, sekarang masuk pada pemeriksaan kepentingan-kepentingan politik yang melekat pada setiap unsur struktur itu.
Kepentingan Prabowo-Sandi sebagai "inti" sangat jelas, yaitu untuk memenangi Pilpres 2019 tanggal 17 April nanti. Â Dengan cara apapun yang tidak dinilai pelanggaran oleh Bawaslu.
Sedangkan kepentingan tokoh-tokoh "lingkaran pusat" juga jelas, yaitu perolehan posisi politik dana tau ekonomi (bisnis) lapis atas (The President Men) kelak seandainya Prabowo-Sandi memenangi Pilpres 2019.
Lalu, dan ini yang terbaca sangat kentara pada Kampanye Akbar itu, kepentingan tokoh-tokoh lingkaran "pusat-pinggiran" yaitu diduga  kepentingan eksistensi agama Islam sebagai salah satu "kekuatan politik"  atau bahkan  "kekuatan politik utama" di Indonesia.
Kepentingan massa di lingkaran "pinggiran" dan "pinggiran-pinggir" adalah sesuatu yang nantinya "menetes" dari lingkaran pusat dan pusat-pinggiran. Â Kalau rejeki, ya, kebagian, kalau tidak, ya sudah, gigit jari.
Kepentingan lingkaran "pusat-pinggiran" itulah, yaitu eksistensi Islam sebagai kekuatan politik yang bersifat menentukan, yang menjiwai dan mewarnai Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di GBK itu.
Indikasi pertama untuk menduga seperti itu adalah surat Ketum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kepada petinggi partai itu, yang menyimpulkan bahwa Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di GBK itu eksklusif. Â Tidak inklusif sebagaimana prinsip yang dipegang Partai Demokrat. Â
Eksklusif yang dimaksud SBY di situ, adalah indikasi pemanggungan "politik identitas keagamaan". Â Dalam hal ini identitas agama Islam yang secara implisit disampaikan SBY dalam bentuk kekhawatiran adalah identitas Islam Pro-Khilafah.
Saya yakin SBY bukan pribadi yang gegabah, yang suka grasa-grusu menyimpulkan dan menyampaikan pandangan. Â SBY adalah seorang politisi pemikir, punya visi dan misis kebangsaan dan kenegaraan yang konsisten pada NKRI, Negara berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Jika dalam Bahasa yang sangat halus SBY menyampaikan kekhawatirannya tentang Kompanye Akbar yang mungkin "Pro-Khilafah", dan kekhawatiran bahwa Prabowo terkooptasi ke dalam kepentingan itu, maka itu adalah pernyataan integritasnya pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar NKRI.
Saya berpikir adanya nilai kebenaran dalam surat SBY, dan kebenaran itu adalah peringatan kepada Prabowo-Sandi, dan sebenarnya juga bangsa Indonesia. Â Walaupun langkah SBY bersurat itu semacam "Pilatus cuci tangan" tami, menurut saya, sangat bernilai sebagai sebuah peringatan dank arena itu layak diapresiasi.
Indikasi kedua adalah fakta adanya instruksi Rizieq Shihab dari "tanah pelarian"-nya untuk "... putihkan Jakarta, putihkan GBK Senayan",  "... kumpul di sana mulai dari pukul 4 pagi untuk melaksanakan salat subuh berjamaah  ... mohon pertolongan Allah, agar Prabowo-Sandi Capres-Cawapres hasil Ijtima Ulama diberi kemenangan Allah SWT." ("3 Pesan Rizieg Shihab Jelang Kampanye Akbar Prabowo-Sandi", idntimes.com, 6/4/2019).  Pesan itu disampaikan dan diunggah tanggal 3 April 2019 di akun FRONT TV di YouTube.
Dengan asumsi bahwa klarifikasi Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini valid, yaitu bahwa Rizieq Shihab meragukan bobot keislaman Prabowo, maka tafsir yang masuk akal atas perintah itu adalah "menangkan Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 demi kepentingan Islam". Â Â
"Islam" yang dimaksud Rizieg Shihab diduga bukanlah  "Islam" sebagaimana diimani misalnya oleh kalangan NU yang "hidup-mati"-nya demi NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Pernyataan Prabowo di akhir pidatonya, bahwa dia akan menjemput Rizieq Shihab bila terpilih menjadi Presiden RI, hanyalah semacam penegasan pada pada peran besar Rizieq Shihab dalam menghelat Kampanye Akbar Prabowo-Sandi.
Indikasi ketiga adalah fakta  social milieu yang terpancar dari Kampanye Akbar Prabowo-Sandi itu sendiri.  Secara kasat mata, dan ini susah dipungkiri,  Kampanye Akbar itu sangat terbuka memanggungkan sosial mileu yang eksklusif pada identitas Islam (sebagaimana diimani pendukung Prabowo-Sandi).Â
Eksklusivisme semacam itu digugat karena tidak mencerminkan Indonesia yang "Bhinneka Tunggal Ika", juga secara khusus tidak mencerminkan adanya pluralitas di lingkungan pendukung Prabowo-Sandi. Â Dengan kata lain dinilai tak menghargai kelompok Non-Islam yang juga menjadi pendukung fanatik Prabowo-Sandi.Â
Social milieu semacam itu mengingatkan pada kasus "pelarangan seorang warga tinggal Dusun Karet, Pleret, Bantul DIY karena agamanya Non-Islam".
***
Analisis struktur dan kepentingan dalam Kapanye Akbar Prabowo-Sandi tersebut mengantar saya pada sebuah kesimpulan sementara, atau untuk amannya baiklah saya sebut sebagai hipotesa. Â Maksud saya hipotesa tentang Kampanye Akbar tesebut.
Untuk itu saya kembali dulu ke pertanyaan "Apa makna Kampanye Akbar Prabowo-Sandi" atau "Pesan apa yang disampikan oleh peristiwa Kampanye Akbar Prabowo-Sandi"?Â
Jawabannya, sebagai sebuah hipotesa, berdasar tafsir atau "pelukisan mendalam" ala Geertzian di atas, makna Kampanye Akbar Prabowo_Sandi adalah "sebuah pernyataan politik tentang kemungkinan tampilnya eksistensi kelompok Islam pendukung cita-cita negara Khilafah jika Prabowo-Sandi memenangi Pilpres 2019".
Itu adalah sebuah kesimpulan hipotetis. Â Tapi jika itu terbukti benar, maka Kampanye Akbar itu menjadi bermakna sebagai "pesan terbuka tentang adanya kemungkinan pembubaran NKRI ang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945".
Artikel ini hanya sebuah kajian analistis, dan kesimpulannya juga bersifat hipotetis. Â Jika tidak setuju, maka silahkan ditanggapi pada level yang sama, lewat kajian analitis juga.
Demikian dari saya, Felix Tani, petani mardijker, suka mencari "kepiting di balik batu".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H