Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Survei Fiksional, Kegilaan Kampanye, dan Kemenangan Jokowi

31 Maret 2019   22:23 Diperbarui: 31 Maret 2019   23:08 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mulai dengan definisi fiksi ala Rocky Gerung yaitu pengaktivasi imajinasi. Nah, survei elektabilitas itu mengaktivasi imajinasi capres/cawapres serta timnya untuk  memenangi Pilpres 2019. Itu telos, tujuannya. Maka survei elektabilitas capres/cawapres itu adalah fiksi atau fiksional.

Jadi, kalau ada yang membaca hasil survei elektabilitas capres/cawapres sebagai fakta akhir, berarti dia tak paham hakekat fiksional dari survei.  

Apalagi kalau ada orang yang menyimpulkan berdasar sejumlah hasil survei yang dipilih secara purposif dan terbatas, bahwa survei elektabilitas petahana pasti meleset. Sembari menyembunyikan jumlah hasil survei yang jitu.  Semata untuk memaksakan fakta penantang sebagai pemenang.

Survei adalah pendugaan fakta, bukan pengungkapan fakta. Yang terakhir ini adalah fungsi sensus. Semisal Sensus Penduduk, benar-benar mengungkap fakta jumlah penduduk suatu negara pada satu titik waktu.

Maka jangan sampai lupa. Survei elektabilitas capres/cawapres pada satu titik waktu selalu bermakna pendugaan untuk memenangi Pilpres pada waktunya. Bukan fakta kemenangan itu sendiri.

Dalam konteks Pilpres 2019, berdasar hasil-hasil survei dependen,  dugaan kemenangan itu lebih kuat pada Jokowi/Maruf ketimbang Prabowo/Sandi. Artinya, jarak antara  imajinasi dan fakta kemenangan lebih dekat pada Jokowi/Maruf.

Pada Prabowo/Sandi jarak itu lebih jauh. Tapi itu tidak berarti mereka kalah. Hanya saja, pewujudan imajinasi menang Pilpres 2019 lebih berat untuk mereka.

Perhatikan bahwa survei elektabilitas yang fiksional itu mengaktivasi imajinasi memenangi Pilpres 2019 baik pada Jokowi/Maruf maupun Prabowo/Sandi.  

Yang membedakan adalah jarak antara imajinasi dan fakta. Inilah faktor penjelas  beda strategi kampanye antara kedua pasangan capres/cawapres itu. Yang hendak saya jelaskan sebagai "kegilaan  kampanye".

***
Pada pupuh ke-7 Serat Kalatida, pujangga Ronggowarsito mengguratkan: "Amenangi jaman edan, ewuhaya ing pambudi.  Melu ngedan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun."

Kurang-lebih berarti: "Menyaksikan jaman gila, serba susah dalam bertindak.  Ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak ikut (gila), tidak akan mendapat bagian, akhirnya akan kelaparan."

Konon syair Ronggowarsito ini adalah kritik sosial terhadap kondisi pemerintahan Pakubuwono IX yang dipenuhi para penjilat yang hanya peduli keuntungan pribadi.

Konsep "jaman edan" Ronggowarsito itu hendak saya pinjam untuk menjelaskan  satu konteks sosial-politik temporal, dalam hal ini masa "kampanye Pilpres 2019".  Saya sebut itu sebagai "kegilaan kampanye".  

"Gila" yang saya maksud di sini bersifat sosiologis (masyarakat), bukan psikologis (individu), menunjuk pada perilaku di luar kewajaran sosial, dalam konteks sosial tertentu. Konteksnya di sini adalah kampanye Pulpres 2019.

Intinya, sesuai batasan di atas, kampanye Pilpres 2019 adalah sebuah "kegilaan sosial (politik)." Coba dipikir. Negara ini harus membelanjakan Rp 25 triliun untuk memilih (mungkin) presiden/wapres dari dua pasangan capres/cawapres yang "buruk" (menurut kubu pesaing). Ditambah ratusan miliar rupiah urunan masing-masing pasangan kandidat dan partai-partai pendukungnya.

Lalu, agama dan Tuhan diseret ke jurang ternista, dengan cara merapal ayat suci sebagai mantra politik, dan mengklaim Tuhan sebagai "Politisi Agung" yang berada di pihaknya. Bukankah sebuah kegilaan sosial untuk menyeret Tuhan ke dalam permainan polutik yang serba kotor?

Juga sebuah kegilaan sosial tatkala partai-partai yang sejatinya berseberangan "visi idiologis" tiba-tiba kompak mendukung satu pasangan capres/cawapres. Semata-mata karena memperjuangkan kepentingan politik praktisnya sendiri-sendiri. Bukan kepentingan bangsa dan negara.

Kegilaan sosial juga ditunjukkan dalam rupa-rupa ujaran dan tindakan politis selama kampanye. Dan kegilaan semacam itu memang secara sengaja diadopsi dan diterapkan sebagai strategi kampanye untuk memenangi Pilpres 2019.

Prinsipnya, semakin "gila" ujaran dan tindakan maka semakin dekat jarak "imajinasi" kepada "fakta" kemenangan dalam Pilpres nanti. Karena akan semakin viral, semakin terkenal, semakin menarik simpati, dan karena itu semakin besar kemungkinan mendapat mayoritas mayoritas pemilih saat pencoblosan.

Maka, dari kubu Prabowo/Sandi, meruyaklah ujaran-ujaran "gila" semacam "Rp 100,000 hanya bisa beli cabe dan bawang", "tempe setipis kartu ATM", "tampang Boyolali", "99% rakyat hidup pas-pasan", "80% tanah dikuasai segelintir orang", "2030 Indonesia bubar", "selang cuci darah di RSCM dipakai 40 orang", "menjemput Rizieq Shihab jika terpilih jadi presiden", dan "malaikat berdoa untuk kemenangan Prabowo-Sandi".

Terbaru, dari Debat ke-4 Capres, Prabowo melontarkan  ujaran-ujaran kategori "gila" juga:   "pertahanan Indonesia rapuh", "Panglima ABS", dan "Indonesia tidak dihormati dunia".

Selain ujaran-ujaran, dari kubu Prabowo/Sandi ditampilkan pula lakon-lakon terindikasi "setting-an. Mulai dari lakon gagal "Ratna Sarumpaet Korban Penganiayaan", "Lelaki Berlumpur di Makasar", "Petani Bawang Menangis", "Pelukan Nenek Rp 500,000", dan "Jadikan Aku Istri Kedua".

Dari kubu Jokowi/Maruf, ujaran-ujaran "gila"  terlontar pula ke udara kampanye. Ingatlah ujaran-ujaran yang dinilai kontroversial ini: "politik genderuwo", "politisi sontoloyo", "jangan takut berantem", "Prabowo punya tanah 220,000 ha di Kaltim dan 120,000 ha di  Aceh Tengah",  "putihkan TPS 17 April", "jas itu pakaian Eropah."

Maka lengkaplah kampanye Pilpres 2019 sebagai sebuah "permainan kegilaan". Ujaran "gila" dibalas dengan ujaran "gila" juga. Demikian terus berlangsung, sehingga kanpanya Pilpres 2019 ini pada dasarnya telah menjadi akumulasi "kegilaan sosial"  dari kedua kubu kandidat.

Harap dicatat, yang gila bukan orang-orangnya, melainkan kampanye  Pilpres 2019 sebagai sebuah interaksi sosial-politik. Sebuah interaksi yang tak mengerucut pada suatu kesepahaman (komunikasi) antar kedua kubu, tapi berupaya melebarkan jarak satu sama lain,  untuk tampil sebagai pemenang pada 17 April nanti.

***
Pertanyaannya, siapakah yang akan keluar sebagai pemenang dari "permainan kegilaan" ini? Dengan kata lain berhasil menumpang-tindihkan imajinasi dan fakta memenangi Pilpres 2019? Jokowi/Maruf atau Prabowo/Sandi?

Sebelum menjawabnya, perhatikan lanjutan pupuh ke-7 Serat Kalatida anggitan Ronggowarsito berikut: "Ndilalah kersaning Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada."

Artinya: "Namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada."

Jika membanding Jokowi/Maruf dan Prabowo/Sandi selama ini, baik dari perilaku kampanye sehari-hari, maupun dari empat kalu debat, nyata bahwa Jokowi/ Maruf-lah yang konsisten "eling klawan waspada".

Perhatikan bahwa ujaran-ujaran mereka selalu membumi, realistis, dan sarat bukti empiris. Mereka hanya menjanjikan apa yang terbaik yang dapat dilakukan untuk kemaslahatan bangsa ini, sesuai dengan pengalaman mereka sendiri.

Sebaliknya, ujaran-ujaran Prabowo/Sandi cenderung mengawang, utopis, miskin bukti empiris yang meyakinkan. Bahkan kerap terkesan arogan, over confidence, sebagaimana dipertontonkan Prabowo ketika bicara soal pertahanan negara, saat Debat ke-4 Sabtu lalu (30.03.19). Mereka menjanjikan banyak hal hebat, tapi  tak pernah menunjukkan jalan ke sana.

Arogan, terlalu percaya diri, dan utopis, itulah pertanda sikap menjauh dari "eling klawan waspada".

Tapi bukankah Jokowi/Maruf juga ikut meramaikan kegilaan kampanye Pilpres 2019 dengan ujaran-ujaran "gila"? Lalu apa bedanya dengan Prabowo/Sandi?

Perhatikan prinsip nJawani berikut: "Sing waras ngalah." Yang berpikir waras, berakal sehat, baiklah mengalah. Jika menghadapi pihak yang melakonkan "kegilaan".

Tapi prinsip itu hanya "bena" sejauh tidak dalam konteks kontestasi memperebutkan sesuatu yang substantif. Semisal berebut pepesan kosong, ya, sing waras ngalah wae.

Jika sudah menyangkut kontestasi memperebutkan sesuatu yang sangat substantif, dalam hal ini jabatan Presiden RI, maka prinsip itu harus ditafsir-ulang secara kreatif.

Sebab "yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun". Kalau tidak ikut "gila", malah tidak dapat jabatan Presiden RI, sehingga akan "lapar kekuasaan". Jadi, harus ikut "gila", tapi juga harus tetap "eling klawan waspada".

Perhatikan bahwa, setidaknya menurut hasil survei Kompas terakhir, "kegilaan" yang dipanggungkan Prabowo/Sandi telah mampu memperpendek jarak imajinasi mereka terhadap fakta kemenangan Pilpres 2019. Sudah pasti Jokowi/Maruf tak akan membiarkan imajinasi Prabowo/Sandi menjadi fakta.

Caranya dengan menerapkan hasil tafsir kreatif atas prinsip "sing waras ngalah" sebagai berikut: "Untuk menaklukkan orang gila, berlakonlah lebih gila darinya, sampai dia merasa waras lalu jeri berurusan dengan orang gila."

Dalam konteks itulah "kegilaan" yang ditampilkan Jokowi/Maruf harus dipahami. Dan sejauh ini, ujaran-ujaran "gila" dari Jokowi, juga lakon-lakon "gila"-nya, semisal kunjungan tengah malam ke kampung nelayan dan naik komuter line pulang ke Istana Bogor, telah berhasil meredam efek "kegilaan" yang dipanggungkan  Prabowo/Sandi. Jika tak berlakon "lebih gila", mungkin jarak imajinasi dengan fakta menang Pilpres akan lebih jauh pada Jokowi/Maruf.

"Kegilaan" terbaru dari Jokowi adalah ujaran "Prabowo tak percaya pada TNI", yang dilontarkannya pada kesempatan Debat ke-4 Capres. Ujaran ini tak pelak menyulut emosi Prabowo, sehingga sepanjang debat dia tampil dengan emosi tinggi, ada nada marah sekaligus arogansi, terkesan meremehkan Jokowi dan Kabinetnya, bahkan merendahkan Indonesia.

Pada akhirnya, di ujung debat, rakyat Indonesia bisa menyaksikan, bagaimana Jokowi telah "memangku" Prabowo. Dan Prabowo tak bisa lain, kecuali mengamini kata-kata Jokowi.

Maka jelas sudah, "permainan gila" kampanye Pilpres 2019 telah dimenangi Jokowi, lebih cepat dari perkiraan.
Demikian catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, pengagum teori "jaman edan"-nya Ronggowarsito.***
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun