Pernah menjadi Ibukota Tanah Batak bagian timur sampai selatan di bawah rejim pemerintahan Fakih Amirudin, Gelar Tuanku Rao, bere atau keponakan Sisingamangaraja X.
Ketika penjajah Kolonial Belanda memasuki Tanah Batak akhir 1870-an, Siborongborong menjadi salah satu kota strategis yang berhasil diduduki.
Kota ini kemudian dijadikan Ibukota Onder Afdeling Hoogvlakte van Toba, dataran tinggi Humbang. Bekas rumah Fakih Amirudin dijadikan kantor Controleur, Asisten Wedana atau Demang.
Pacuan Kuda
Dataran tinggi Humbang, termasuk Siborongborong di dalamnya, sejak awal 1900-an sudah dikenal sebagai daerah peternakan kuda khas Tanah Batak. Biasa disebut "Kuda Batak".
Padang sabana yang terbentang luas di sana memang cocok untuk peternakan kuda. Selain, tentu saja, kerbau sebagai ruminansia utama.
Karena itu sejak lama tradisi marsiadu hoda, pacuan kuda, sudah berkembang di sana. Setidaknya sebuah foto koleksi Tropenmuseum menunjukkan pacuan kuda sudah digelar di Siborongborong tahun 1917.
Waktu itu pacuan kuda di Siborongborong menjadi hiburan bagi pejabat-pejabat Belanda di lingkungan Afdeling Bataklanden (kemudian menjadi Tapanuli Utara).
Teknik pacu kuda masih tradisional. Tanpa pelana, tali kekang, dan pecut standar. Juga tanpa pakaian dan perlengkapan keamanan standar. Seadanya saja, alias nekad.
Sempat berdiri organisasi Revereniging Hoda Marsiadu di sana. Beranggotakan para pemilik kuda pacu, Kepala Negeri, dan tokoh-tokoh masyarakat penggemar pacuan kuda.Â