Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Siborongborong, Daging Kuda dan Sayur Kol

9 Februari 2019   15:25 Diperbarui: 16 Februari 2019   08:37 2933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pacuan kuda di Siborongborong tahun 1917 (Koleksi Tropenmuseum)

Siborongborong, nama itu sejatinya sudah sohor dari dulu. Kota kecil ini mendadak viral beberapa waktu lalu. Lantaran lagu remix reggae "Sayur Kol" lantunan grup band "Punxgoaran".

Penggalan syair lagu itu, "Waktu abang pergi ke Siborongborong.. datang namboru Panjaitan.. Makan daging anjing dengan sayur kol.." Bikin ramai jagad sosmed sekaligus menyesatkan.

Aslinya, itu adalah lagu Batak yang dipopulerkan grup penyanyi legendaris "Trio Golden Heart" tahun 1970-an. Judulnya "Jagal Hoda dohot Kol". Saya termasuk generasi yang suka menembangkan lagu kocak itu tahun 1970-an.

Penggalan syair di atas, menurut versi aslinya jika diterjemahkan adalah: "Ketika aku pulang ke Siborongborong... berjumpa Boru Hombing... Lauk-pauknya daging kuda dan sayur kol".

Dimana letak sesatnya, nanti bakal terjelaskan sendiri. Intensi saya di sini memperkenalkan Siborongborong.

Kota Terdingin 

Siborongborong berada di jalur Trans-Sumatera, antara Balige di utara dan Tarutung di selatan. Jaraknya sekitar 250 km dar Medan, atau sekitar 6 jam perjalanan naik bus. 

Tapi sekarang kota kecil ini punya Bandara Internasional Silangit. Sehingga waktu tempuh Medan-Siborongborong lewat udara bisa dipangkas menjadi 1 jam saja. Cukup sediakan uang tiket pesawat Rp 500,000.

Terletak di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), kota ini berada di Dataran Tinggi Toba, zaman Belanda disebut "Hoogvlakte van Toba". Dengan ketinggian 1,365 mdpl, kota ini tergolong terdingin di Tanah Batak. Suhu malam rata-rata 16 derajat C, siang rata-rata 21 derajat. Jualan AC tidak laku di sana.

Kota Tua

Siborongborong tergolong kota tua di Tanah Batak. Kota ini sudah ada pada awal 1800-an.

Pernah menjadi Ibukota Tanah Batak bagian timur sampai selatan di bawah rejim pemerintahan Fakih Amirudin, Gelar Tuanku Rao, bere atau keponakan Sisingamangaraja X.

Patung Parombusombus, Tetenger Siborongborong (Foto:tobatour.com)
Patung Parombusombus, Tetenger Siborongborong (Foto:tobatour.com)
Sisingamangaraja X sendiri, pada posisi sebagai Pendeta Raja, pada masa itu memerintah Tanah Batak bagian barat dengan pusat pemerintahan di Bakkara (sekarang Baktiraja).

Ketika penjajah Kolonial Belanda memasuki Tanah Batak akhir 1870-an, Siborongborong menjadi salah satu kota strategis yang berhasil diduduki.

Kota ini kemudian dijadikan Ibukota Onder Afdeling Hoogvlakte van Toba, dataran tinggi Humbang. Bekas rumah Fakih Amirudin dijadikan kantor Controleur, Asisten Wedana atau Demang.

Pacuan Kuda

Dataran tinggi Humbang, termasuk Siborongborong di dalamnya, sejak awal 1900-an sudah dikenal sebagai daerah peternakan kuda khas Tanah Batak. Biasa disebut "Kuda Batak".

Padang sabana yang terbentang luas di sana memang cocok untuk peternakan kuda. Selain, tentu saja, kerbau sebagai ruminansia utama.

Karena itu sejak lama tradisi marsiadu hoda, pacuan kuda, sudah berkembang di sana. Setidaknya sebuah foto koleksi Tropenmuseum menunjukkan pacuan kuda sudah digelar di Siborongborong tahun 1917.

Waktu itu pacuan kuda di Siborongborong menjadi hiburan bagi pejabat-pejabat Belanda di lingkungan Afdeling Bataklanden (kemudian menjadi Tapanuli Utara).

Teknik pacu kuda masih tradisional. Tanpa pelana, tali kekang, dan pecut standar. Juga tanpa pakaian dan perlengkapan keamanan standar. Seadanya saja, alias nekad.

Pacuan kuda di Siborongborong masa kini (Foto: harianbatakpos.com)
Pacuan kuda di Siborongborong masa kini (Foto: harianbatakpos.com)
Karena itu, saat pacuan, mobil ambulans selalu mengejar dari belakang. Siap memungut joki yang terlempar lalu patah tulang, misalnya. Itu kerap terjadi. Menyebabkan petaruhnya, penjudi, mungkin pingsan juga di tepi lintasan pacu.

Sempat berdiri organisasi Revereniging Hoda Marsiadu di sana. Beranggotakan para pemilik kuda pacu, Kepala Negeri, dan tokoh-tokoh masyarakat penggemar pacuan kuda. 

Organisasi ini mati tahun 1942, bersamaan pendudukan Jepang. Sebab semua kuda unggul disita untuk keperluan perang.

Pacuan kuda Siborongborong masih digelar hingga sekarang. Walau tidak rutin. Tapi pasti ada tiap 17 Agustus. Dihelat oleh organisasi Pengurus Hoda Marsiadu Siborongborong. Lintasan pacunya ada di Desa Silaitlait.

Mungkin, jarangnya perhelatan pacuan itu, terkait juga dengan merosotnya populasi kuda di Siborongborong atau dataran Humbang umumnya. Di Siborongborong sendiri, tahun 2018, hanya tersisa sekitar 50-an ekor kuda.

Dulu manfaat kuda di Siborongborong memang bukan terutama untuk pacuan. Tapi untuk alat angkut barang, kuda beban, dari desa ke pasar. Selain juga untuk kendaraan tunggang.

Kuda juga menjadi daging konsumsi di sana. Terutama untuk pesta besar, semisal pesta adat pernikahan atau kematian warga tetua. Tapi juga untuk sajian rumah makan, atau kedai tuak.

Karena itu, dulu, kalau seseorang mengaku sudah pernah ke Siborongborong, tapi tidak makan daging kuda, berarti dia bohong. Karena jagal hoda, daging kuda, adalah kuliner khas sana atau daerah Humbang umumnya.

Jadi, bukan daging anjing, melainkan daging kudalah penciri Siborongborong.

Sayur Kol dan Kopi

Siborongborong atau dataran tinggi Humbang umumnya adalah pusat produksi hortikultura di Tanah Batak.

Salah satu produk hortikultura utama Siborongborong adalah sayuran kol (kubis). Nomor dua setelah cabai. Berikutnya kentang dan sawi.

Di jaman penjajahan Belanda, Dinas Pertanian Kolonial sempat mendirikan pusat pengembangan budidaya hortikultura di dataran Humbang sana. Sayang kinerjanya kurang menggembirakan.

Selain hortikultura sayuran, Siborongborong juga terkenal dengan hortikultura perkebunan yaitu kopi. Bisnis kopi di kota ini bersambung ke daerah produsen lainnya di Humbang, khususnya Lintong Ni Huta, desa produsen Kopi Lintong yang sohor itu.

Siborongborong adalah "ibukota" pedagang pengumpul kopi rakyat, termasuk Kopi Lintong. Dari kota kecil ini biji kopi dikirim ke utara (Medan) dan selatan (Jakarta) untuk kemudian diolah dan diracik menjadi secangkir kopi panas untuk melupakan kepahitan hidup. Mungkin, lho.

Tapi secangkir kopi pahit juga sangat bisa dinikmati, dan dianjurkan begitu, di kedai-kedai kopi tradisional yang terdapat di kota Siborongborong. Pelengkapnya adalah ombusombus, lepat khas Siborongborong, salah satu penciri kota, disamping daging kuda.

Ombusombus tak hanya dijual di kedai kopi. Tapi juga dijajakan dengan bersepeda sepanjang jalan utama dan terminal kota. Sambil berteriak, "Ombusombus las kede!" (Ombusombus masih hangat!). Lazimnya para pelintas akan menghentikan kendaraannya untuk membeli. Dimakan sendiri atau untuk buah tangan.

Kembali ke sayur kol. Karena melimpah dan murah, jenis sayur ini lazim disajikan di rumah-rumah keluarga dan rumah makan. Jika makan di rumah makan, maka ada daging kuda untuk pasangannya. Maka populerlah frasa "makan lauk daging kuda dengan sayur kol".

Kampung Sihombing

Setiap kelompok marga di Tanah Batak punya Bona Pasogit, Kampung Halaman, sendiri.

Sihombing adalah satu kelompok marga yang berkampung-halaman di Siborongborong. Ke dalam kelompok marga Sihombing ini termasuk marga Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit.

Jadi marga Sihombing adalah salah satu penciri untuk Siborongborong. Itu sebabnya dalam lagu asli "Jagal Hoda dohot Kol" ada frasa Boru (Si)Hombing". Bukan Boru Panjaitan yang kampung halamannya di Balige-Porsea,atau Toba Holbung.

Syair lagu "Ombusombus" yang mewartakan kenikmatan makanan khas itu juga memuat frasa "Ai boru Hombing do napaturehon i mansai malo" (Boru (Si)Hombing yang memasak (ombusombus) itu sangat ahli).

Begitulah, jika berjumpa dengan seseorang bermarga Sihombing, langsung tebak saja kampung asalnya: "Dari Siborongborong, ya!". Setidaknya dia akan jawab, "Leluhurku ada di sana."

Apa yang Bisa Dikembangkan?

Saya kira, Siborongborong rugi jika tidak memanfaatkan potensi Bandara Internasional Silangit untuk pengembangan wisata.

Salah satunya adalah wisata kopi dari hilir ke hulu. Ini paket wisata yang dimulai dari menyeruput segelas kopi Lintong terbaik di kedai kopi Siborongborong, lalu ke pabrik pengolahan kopi, pasar kopi, sampai kemudian ke kebun kopi di hulunya. Tentu dengan bonus cerita kopi, antara lain mengenal sejarah, ragam jenis dan mutu kopi setempat.

Kedua, menghidupan kembali tradisi pacuan kuda Siborongborong. Tentu banyak yang harus dibenahi. Lintasan harus standar. Begitupun perlengkapan joki dan kuda. Serta keselamatan joki, kuda, dan penonton. Sebab pacuan kuda bukanlah setor nyawa.

Ketiga, tentu saja kuliner khas sana. Agar lebih dipoles rasa dan kebersihannya. Setidaknya bisa disajikan dua pilihan untuk para pelancong yang mendarat di Silangit.

Nasi lokal, lauk daging kuda, dan sayur kol di kedai makan, bagi mereka yang lapar. Atau secangkir kopi pahit dan ombusombus hangat di kedai kopi, bagi mereka yang perlu melawan udara dingin Siborongborong. Atau tambah secangkir lagi, jika tak sudi tidur malam.

Begitulah Siborongborong yang aku tahu. Aku, Felix Tani, petani mardijker, sudah makan ombusombus dan minum secangkir kopi di sana.

Oh ya, sudah tahu mengapa lagu "Sayur Kol"-nya Punxgoaran itu menyesatkan?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun