Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Soal Gender: Perempuan Menyunggi, Lelaki Memikul

23 Januari 2019   16:04 Diperbarui: 23 Januari 2019   18:13 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: khabarsoutheastasia.com

Artikel rekan Kompasianer Leya Cattleya, "Perempuan Penyunggi: Antara Peran Sosial dan Kesehatan" (kompasiana.com, 22/1/19) mengangkat satu tesis yang menarik yaitu ketimpangan gender dalam akses teknologi.  

Kasus yang diangkat rekan Leya adalah ketimpangan gender dalam akses teknologi angkutan. Disimpulkan, akses perempuan pada teknologi sangat rendah, sehingga mereka terpaksa (terkondisikan) untuk menyunggi, membawa beban di atas kepala.

Teknologi sepeda di pedesaan bisa menjadi contoh. Walaupun ada tipe sepeda laki dan sepeda perempuan, jika berkait pada fungsinya sebagai alat angkut barang, maka sepeda umumnya menjadi domain laki-laki.  Justifikasinya, sepeda membawa beban sangat berat, sehingga lebih cocok dikendalikan lelaki.

Tentu, semakin ke sini, ada pergeseran. Rekan Leya misalnya baru saja melaporkan kisah perempuan tua penjual anglo yang mengangkut tumpukan anglo dengan sepeda dari Bantul ke Yogya. Bukti kecil akses perempuan pada teknologi sepeda sebagai alat angkut.

Di kota Bantul ataupun Yogya sendiri, sekarang ini lazim terlihat perempuan membawa beban barang menggunakan sepeda motor. Bukti lain adanya peningkatan akses perempuan pada teknologi angkutan.

Sungguhpun begitu, soal ketimpangan gender dalam hal akses pada teknologi angkutan masih kentara di pedesaan kita. Atau kalau mau melihatnya lebih jelas, boleh cek laporan ketimpangan gender dimaksud di pedesaan negara-negara Afrika Sub-Sahara sana.

Saya mau fokus pada apa yang menggejala di NKRI kita ini saja.

***
Sebelum teknologi roda ditemukan, sudah jelas manusia menggunakan teknologi sunggi (perempuan) dan teknologi pikul (laki-laki) untuk mengangkut beban (barang) yang bobotnya masih dalam batas toleransi daya sangga tubuh. Jika terlalu berat, maka digunakan teknologi "kuda beban", semisal di pedesaan NTB dan NTT. Atau kalau tidak punya kuda, beban berat dipikul dua orang lelaki.

Yang menarik adalah fakta wanita menyunggi sedangkan lelaki memikul. Bagaimana pejelasan untuk perbedaan yang bersifat gender ini?

Argumen teknis bahwa beban yang disunggi perempuan itu ringan dan jaraknya dekat, saya pikir, kurang kuat. Fakta bahwa wanita menyunggi gabah 50 kg sementara laki-laki memikul  50 kg gabah dari sawah ke rumah, artinya bobot dan jarak sama, mematahkan alasan itu. Bahkan jika berat gabah itu hanya 25 kg, lelaki tetap memikulnya di bahu.  

Jadi harus ada penjelasan lain yang lebih logis.

Pertama, alasan biologis yaitu perbedaan bawaan (kodrat) struktur tubuh perempuan dan laki-laki. Bahu perempuan lebih sempit sehingga tidak nyaman digunakan untuk memikul. Maka pilihan paling logis adalah menyunggi. Sedangkan bahu lelaki lebih lebar sehingga lebih cocok untuk memikul.  

Kedua, alasan kultural, sosialisasi pembedaan gender dalam cara kerja, perempuan menyunggi sedangkan lelaki memikul.  Kalau ada perempuan memikul, dicela seperti laki-laki. Kalau lelaki menyunggi, dicela seperti perempuan.

Pembedaan gender semacam itu diberlakukan juga dalam konteks nilai budaya. Perempuan menjunjung (menyunggi) kehormatan keluarga, lelaki memikul beban tanggungjawab menghidupi keluarga. Kalau anak-anak nakal, ibunya disalahkan. Kalau anak-anak kelaparan, bapaknya disalahkan.  

Kalau ditanya apakah nilai perbedaan peran gender itu berlaku dalam kenyataan, jawabnya ya dan tidak, tergantung antara lain pada status atau strata sosial. Hasil-hasil riset peranan wanita pedesaan tahun 1970-an sampai 1980-an menunjukkan bahwa perempuan justru berperan ganda, domestik dan publik, sehingga bekerja lebih berat dibanding lelaki.

Studi Valerie Hull tahun 1975 tentang perempuan lapis bawah di sekitar Maguwo Yogya misalnya menunjukkan bahwa wanita lapis bawah bekerja cari nafkah sama atau lebih keras dibanding lelaki. 

Karena itu mereka  lebih mandiri dan berani menceraikan suaminya. Logikanya, memang tak guna punya suami yang, misalnya, siang hari sudah sibuk main perkutut, malamnya masih minta "main  perkutut" juga. Sebab manusia tidak hidup dari perkutut.

Apakah menyunggi itu sungguh membahayakan kesehatan tulang belakang perempuan? Pasti membahayakan, jika bobot beban di kepala melewati batas daya sokobg tubuh. Dama bahanya juga dengan memikul beban dengan bobot berlebih. Intinya, sejauh bobot beban di kepala tidak berlebih, maka risiko cidera atau sakit punggung dapat terhindarkan.

Satu hal yang mungkin tak disadari pengamat adalah fakta bahwa menyunggi lebih  aman dan nyaman ketimbang memikul. Saya sudah membuktikan sendiri semada hidup sebagai petani di pelosok Tanah Batak sana.  

Berdasar pengalaman, menyunggi adalah seni menemukan titik berat beban, sehingga tekanan bobot beban terbagi rata ke seluruh tubuh. Jika titik berat sudah ketemu, maka menyunggi terasa ringan.

Beda dengan memikul di bahu. Beban akan menekan sebelah tubuh, bagian atas tubuh harus dimiringkan untuk mendapatkan titik berat. Membawa beban dengan badan miring jelas tidak nyaman dan berisiko cidera tulang atau otot punggung. Hanya karena laki-laki beranggapan menyunggi itu cara perempuan, maka mereka bersikukuh dengan cara pikul itu. Dengan atau tanpa pikulan.

Kengototan itu mungkin terkait juga dengan hukum waris "sepikul (untuk laki-laki) segendongan (untuk perempuan)", jika bicara  tentang etnis Jawa. Sepikul berarti dua bagian, selayaknya memikul beban menggunakan batang pikulan. Segendongan setara dengan sesunggian, satu bagian. Karena hanya satu beban yang disunggi, walau mungkin lebih berat ketimbang sepikulan kapas randu.

***
Hemat saya, teknik sunggi itu sejatinya adalah seni yang susah ditiru lelaki dan berpengaruh positif pada postur dan daya tahan tubuh, dengan syarat bobot beban dan durasinya tidak berlebihan.  

Tentu saja saya setuju pada upaya-upaya peningkatan akses perempuan, khususnya di pedesaan, pada teknologi transportasi. Di sinilah antara lain urgensi dan relevansi pembangunan infrastruktur transportasi sekarang ini.

Selain itu tentu saja perlucupaya mendekatkan air ke desa, sehingga para perempuan dan anak-anak, misalnya di NTT, tidak perlu berjalan jauh untuk mendapatkan segentong air di atas kepalanya.

Di kota pemandangan perempuan penyunggi sudah langka, karena akses pada angkutan sudah baik. Perempuan kota sekarang bisa berbisnis on-line lewat gawai, lalu membayar kurir lelaki (yang bangga dengan motornya) untuk mengantar barang kepada pembeli. Tidak perlu lagi menyunggi barang ke pasar.

Perempuan penyunggi, dan lelaki pemikul, memang mencerminkan gejala bias gender. Tapi khusus teknik sunggi, menurut saya bukan cermin subordinasi perempuan. Itu adalah tenik membawa beban dengan presisi tinggi, dan mengandung nilai seni dalam prakteknya. Sulit untuk tak terpukau menyaksikan barisan perempuan Bali menyunggi sesaji melintas membelah hamparan padi menguning di sawah.

Baiklah jika berpikir sedikit nyeleneh: teknik sunggi itu adalah salah satu inovasi terbaik perempuan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Demikian pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, lebih nyaman menyunggi ketimbang memikul.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun