***
Hemat saya, teknik sunggi itu sejatinya adalah seni yang susah ditiru lelaki dan berpengaruh positif pada postur dan daya tahan tubuh, dengan syarat bobot beban dan durasinya tidak berlebihan. Â
Tentu saja saya setuju pada upaya-upaya peningkatan akses perempuan, khususnya di pedesaan, pada teknologi transportasi. Di sinilah antara lain urgensi dan relevansi pembangunan infrastruktur transportasi sekarang ini.
Selain itu tentu saja perlucupaya mendekatkan air ke desa, sehingga para perempuan dan anak-anak, misalnya di NTT, tidak perlu berjalan jauh untuk mendapatkan segentong air di atas kepalanya.
Di kota pemandangan perempuan penyunggi sudah langka, karena akses pada angkutan sudah baik. Perempuan kota sekarang bisa berbisnis on-line lewat gawai, lalu membayar kurir lelaki (yang bangga dengan motornya) untuk mengantar barang kepada pembeli. Tidak perlu lagi menyunggi barang ke pasar.
Perempuan penyunggi, dan lelaki pemikul, memang mencerminkan gejala bias gender. Tapi khusus teknik sunggi, menurut saya bukan cermin subordinasi perempuan. Itu adalah tenik membawa beban dengan presisi tinggi, dan mengandung nilai seni dalam prakteknya. Sulit untuk tak terpukau menyaksikan barisan perempuan Bali menyunggi sesaji melintas membelah hamparan padi menguning di sawah.
Baiklah jika berpikir sedikit nyeleneh: teknik sunggi itu adalah salah satu inovasi terbaik perempuan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Demikian pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, lebih nyaman menyunggi ketimbang memikul.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H