Pertama, alasan biologis yaitu perbedaan bawaan (kodrat) struktur tubuh perempuan dan laki-laki. Bahu perempuan lebih sempit sehingga tidak nyaman digunakan untuk memikul. Maka pilihan paling logis adalah menyunggi. Sedangkan bahu lelaki lebih lebar sehingga lebih cocok untuk memikul. Â
Kedua, alasan kultural, sosialisasi pembedaan gender dalam cara kerja, perempuan menyunggi sedangkan lelaki memikul. Â Kalau ada perempuan memikul, dicela seperti laki-laki. Kalau lelaki menyunggi, dicela seperti perempuan.
Pembedaan gender semacam itu diberlakukan juga dalam konteks nilai budaya. Perempuan menjunjung (menyunggi) kehormatan keluarga, lelaki memikul beban tanggungjawab menghidupi keluarga. Kalau anak-anak nakal, ibunya disalahkan. Kalau anak-anak kelaparan, bapaknya disalahkan. Â
Kalau ditanya apakah nilai perbedaan peran gender itu berlaku dalam kenyataan, jawabnya ya dan tidak, tergantung antara lain pada status atau strata sosial. Hasil-hasil riset peranan wanita pedesaan tahun 1970-an sampai 1980-an menunjukkan bahwa perempuan justru berperan ganda, domestik dan publik, sehingga bekerja lebih berat dibanding lelaki.
Studi Valerie Hull tahun 1975 tentang perempuan lapis bawah di sekitar Maguwo Yogya misalnya menunjukkan bahwa wanita lapis bawah bekerja cari nafkah sama atau lebih keras dibanding lelaki.Â
Karena itu mereka  lebih mandiri dan berani menceraikan suaminya. Logikanya, memang tak guna punya suami yang, misalnya, siang hari sudah sibuk main perkutut, malamnya masih minta "main  perkutut" juga. Sebab manusia tidak hidup dari perkutut.
Apakah menyunggi itu sungguh membahayakan kesehatan tulang belakang perempuan? Pasti membahayakan, jika bobot beban di kepala melewati batas daya sokobg tubuh. Dama bahanya juga dengan memikul beban dengan bobot berlebih. Intinya, sejauh bobot beban di kepala tidak berlebih, maka risiko cidera atau sakit punggung dapat terhindarkan.
Satu hal yang mungkin tak disadari pengamat adalah fakta bahwa menyunggi lebih  aman dan nyaman ketimbang memikul. Saya sudah membuktikan sendiri semada hidup sebagai petani di pelosok Tanah Batak sana. Â
Berdasar pengalaman, menyunggi adalah seni menemukan titik berat beban, sehingga tekanan bobot beban terbagi rata ke seluruh tubuh. Jika titik berat sudah ketemu, maka menyunggi terasa ringan.
Beda dengan memikul di bahu. Beban akan menekan sebelah tubuh, bagian atas tubuh harus dimiringkan untuk mendapatkan titik berat. Membawa beban dengan badan miring jelas tidak nyaman dan berisiko cidera tulang atau otot punggung. Hanya karena laki-laki beranggapan menyunggi itu cara perempuan, maka mereka bersikukuh dengan cara pikul itu. Dengan atau tanpa pikulan.
Kengototan itu mungkin terkait juga dengan hukum waris "sepikul (untuk laki-laki) segendongan (untuk perempuan)", jika bicara  tentang etnis Jawa. Sepikul berarti dua bagian, selayaknya memikul beban menggunakan batang pikulan. Segendongan setara dengan sesunggian, satu bagian. Karena hanya satu beban yang disunggi, walau mungkin lebih berat ketimbang sepikulan kapas randu.